Alkitab Bahasa Amanuban | Sumber: screenshot UBB
“Lasi nak on i yoo mana' pinat, man aklahat, ho ate ma usi' kaim matua'
kait ma ama' kaim neee ......... ma ena' kai'...!!!”
Beberapa hari lalu (pertengahan Agustus 2020) dalam sebuah talk show Kompas
TV, direktur lembaga survey Indobarometer M Qodari (kalau
tidak salah ingat), melontarkan sebuah fakta tentang pernikahan
yakni "saat ini sekitar 25 % masyarakat Indonesia menikah antar suku."
Kalau kita anggap angka itu berlaku juga untuk
Atoin Meto' (suku Timor Dawan) maka saat ini juga ada 25 %
orang Timor yang menikah dengan suku lain.
Lalu...
Apa kaitannya dengan bahasa daerah?
Sudah umum bahwa dalam pernikahan antar suku, khususnya dengan
atoin meto', bisa dikatakan HAMPIR SEMUA anak-anaknya TIDAK BISA
berbahasa dawan (uab meto') secara aktif.
Dari 75 % mereka yang menikah sesuku pun, bisa diduga 20 - 25 % anak-anak
mereka tidak dapat berbicara bahasa daerah (silakan lihat sekeliling anda),
padahal kedua orang tuanya berbahasa daerah aktif. Di kampung-kampung saja,
banyak anak yg tidak fasih berbicara uab meto', apalagi di kota?
100 % tidak bisa!
Nah...
Itu berarti, saat ini sudah ada sekitar 40-50 % populasi
atoin meto' yang sudah tidak aktif menggunakan uab meto'.
Jika laju ketidakmampuan berbahasa daerah itu meningkat 1 % setiap tahun
saja, maka, hanya dalam tempo 50 tahun ke depan
uab meto' akan punah, atau setidaknya sudah sangat kritis.
Khusus untuk bahasa sastra dan seni seperti
natoni, bonet & sikoli, bisa lebih cepat dari itu mengingat tingkat
kesulitannya lebih tinggi.
Lanjut....
Kenapa di atas beta bisa menyebut angka yang cukup besar, 1
%/tahun?
Pernikahan antar suku bukanlah satu-satunya faktor penyebab punahnya suatu
bahasa daerah. Masih banyak faktor penyebab lain, diantaranya :
🔸 Ada stigma bahwa berbahasa daerah itu bodoh & kampungan. Apalagi kalau
atoin meto' yang berbicara, siap-siap dihantam dengan panggilan
ko*k, AT, kuan, & istilah merendahkan lainnya.
🔸 Kemajuan zaman yang lebih menuntut orang untuk belajar bahasa asing seperti
bahasa Inggris, Jerman, Arab, Jepang, Latin & Cina, ketimbang belajar
bahasa daerah. Nama orang saja sudah tidak ada nuansa kedaerahan (misalnya
beta pung nama 🙈 untung masih ada fam).
🔸 Belum ada semacam standar tata bahasa daerah kita. Kata para ahli bahasa,
salah satu faktor pendukung punahnya suatu bahasa daerah adalah
ketidaksesuaian antara penulisan & pengucapan. Ini uab meto'
"banget". Misalnya, banyak aksennya tapi dalam penulisan aksen itu
ditiadakan. Contoh, ucapannya Oe'sapa' tapi ditulis
Oesapa, Nunle'u ditulis Nunleu, dll. Belum masalah penulisan
lainnya, pemenggalan & penggabungan kata, perubahan kata kerja, dan
sebagainya.
Jadi...
Walaupun saat ini jumlah penutur aktif uab meto' masih relatif banyak
tapi sesungguhnya uab meto' sedang kritis. Semoga
"50 tahun lagi uab meto' bisa punah" hanyalah kekhawatiran
lebay beta.*
———
*) Bahasa daerah lain di NTT juga dalam kondisi serupa, menurut beta. Kecuali
pemiliknya seperti orang Jawa yang PeDe menggunakan bahasa Jawa di mana
saja, entah di kampung atau di kota metropolitan, di Jawa maupun di luar
Jawa...
B ju turut prihatin, knapa org dawan malu menggunakan uab meto'padahal itu kekayaan yg perlu dilestarikan.....
ReplyDelete