Social Icons

Friday, August 15, 2014

Para Pahlawan itu Perlu Dihargai dengan Pantas (Catatan tentang Perang Kolbano-Timor 1907)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya (Soekarno, 1961).

Monumen perang Kolbano yang didirikan Belanda
tahun 1908 (Dok. pribadi).
Beberapa bulan lalu saya menulis artikel Orang Jawa yang Tewas dalam Perang Kolbano di Timor, 26 Oktober 1907. Di situ tercantum nama-nama tentara Belanda yang tewas dalam perang Kolbano dimana dari 16 orang yang tewas, hanya 2 orang Eropa sedangkan 14 lainnya adalah orang Jawa. Dalam artikel itu sekaligus saya menyampaikan tentang 3 orang pahlawan Kolbano (Boi Kapitan, Pehe Neolaka dan Esa Taneo) yang ditangkap lalu dibuang ke tempat lain yang tidak dketahui hingga kini.

Perang Kolbano terjadi ketika pasukan Belanda (kaes muti) datang ke Temukung Kolbano (Temukung: tingkatan pemerintahan lokal saat itu dibawah Raja dan Fetor, di atas Lopo) untuk menagih paksa denda berupa uang tunai sebesar 1.500 keping perak yang dibebankan kepada rakyat Kolbano akibat penolakan mereka membayar pajak kepada Belanda yang mencekik. Juga sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda diantaranya kewajiban tanam paksa, kerja rodi dan menyerahkan"senapan tumbuk" (senapan tradisional) yang mereka miliki untuk dimusnahkan.

Saya mendapat tanggapan dari beberapa sesepuh yang meluruskan fakta bahwa sebenarnya pemuda-pemuda Kolbano yang dibuang bukan cuma 3 orang itu tetapi 79 orang yang terdiri dari pemimpin perlawanan Boi Boimau dengan julukan Boi Kapitan ditambah 40 orang eksekutor (2 diantaranya adalah yang sering disebut: Pehe Neolaka dan Esa Taneo) serta 38 pemuda lain yang diduga terlibat. Bukti yang disodorkan adalah detail cerita bagaimana caranya tentara-tentara Belanda dieksekusi di Kolbano yang kemudian dikenal sebagai perang Kolbano 26 Oktober 1907.

Diceritakan bahwa sebuah strategi apik dijalankan para laskar Kolbano untuk membunuh pasukan penjajah yang tiba pada tanggal 26 Oktober 1907. Mengingat bahwa persenjataan yang dimiliki tidak mungkin sanggup melawan senapan mesin kepunyaan pasukan Belanda maka Boi Kapitan sebagai pemimpin bersama Meo Naek (panglima besar) Tua Lakapu menyusun siasat perang dengan menggunakan peralatan sederhana yang tidak menunjukan tanda-tanda mencurigakan bahwa akan ada perlawanan. Ketika tiba, para tentara Belanda dikelabui dengan bertingkah seolah rakyat Kolbano bersedia membayar upeti yang hendak ditagih.

Peletakan krans bunga di monumen perang Kolbano
tahun 1927 (Dok. Tropen Museum).

"Senjata" yang digunakan adalah benas (parang bertani) yang diasah tajam, abu ra'o (abu dapur) dan cairan cabe rawit yang disembunyikan dibalik sarung. Juga disiapkan kelapa muda yang akan disuguhkan ketika mereka tiba mengingat pasukan Belanda pasti kehausan setelah menempuh perjalanan panjang menuju Kolbano.

Sebelum pasukan Belanda tiba, melalui mata-mata diketahui bahwa merek berjumlah 20 orang maka ditentukanlah 40 laskar terlatih yang akan bertugas melakukan pembunuhan, 2 orang bertugas mengeksekusi 1 tentara Belanda. Caranya adalah ke 40 orang berlutut maju secara serentak menyuguhkan buah kelapa muda dengan perhitungan akan serentak pula para tentara Belanda mulai menenggak air kelapa muda itu. Saat itulah abu ra'o maupun cairan cabe yang telah disiapkan dihamburkan ke wajah mereka untuk membutakan mata, sebelum dibunuh dengan benas yang telah disiapkan.

Strategi ini dijalankan dengan cukup mulus, 16 orang dibunuh sedangkan 4 orang berhasil meloloskan diri. Dari 4 orang yang lolos, hanya 1 orang yang bisa selamat kembali ke markas besar Belanda di Kapan (sekitar 80 KM dari Kolbano) dan melaporkan kejadian di Kolbano, 3 orang lainnya tidak diketahui bagaimana nasib mereka.

Belanda segera menyerang balik dengan mengerahkan pasukan dalam jumlah yang lebih besar dan persenjataan yang lebih kuat. Mereka berhasil menguasai, membumihanguskan kampung Kolbano dan menangkap Boi Kapitan bersama 40 orang eksekutor ditambah 38 laskar yang diduga terlibat lalu dibuang ke tempat lain yang tidak diketahui pasti hingga kini.

Seharusnya total yang dibuang 80 orang tapi salah satu laskar bernama Kolo Boimau yang berjuluk Kol Isu melawan ketika hendak dibawa ke atas kapal Belanda yang bersandar di Pantai Kolbano. Ia dibunuh seketika itu juga dan dikuburkan di pantai yang kemudian diberi nama Pantai Kol Isu hingga sekarang.
***

Untuk mencari fakta lain menjawab rasa penasaran seputar perang Kolbano, saya mencoba mencari informasi lewat internet. Bermodal sebuah kalimat berbahasa Belanda yang tertulis pada batu nisan monumen perang Kolbano, "Gesneuveld te Kalbano," google membawa saya ke website Tropen Museum Belanda. Di sana saya mendapat sebuah informasi berharga: penghargaan yang besar atas jasa para pahlawan.

Jejeran tentara Belanda di depan monumen perang Kolbano
ketika peletakan krans bunga 1 Oktober 1927
(Dok. Tropen Museum).

Saya mendapati foto-foto yang menunjukkan aktifitas sekelompok tentara Belanda melakukan upacara peletakan krans bunga di monumen perang Kolbano memperingati 20 tahun terbunuhnya tentara-tentara mereka. Dalam keterangannya, peletakan krans bunga itu dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1927.

Walaupun saat itu (1907) Belanda hadir dengan misi utama menjajah dan mengeksploitasi hasil alam kita namun mereka tidak melupakan setiap orang yang telah berjasa bagi mereka. Kurang dari 1 tahun setelah perang Kolbano, pemerintah Hindia Belanda langsung mendirikan monumen tersebut di dekat lokasi tulang belulang para tentara yang tewas. Juga nama mereka diukir pada prasasti lengkap dengan nomor induk ketentaraannya sekalipun mereka yang tewas hanya 2 orang asli Belanda sedangkan 14 lainnya adalah tentara rekrutan dari Pulau Jawa.

Penghargaan bagi mereka yang tewas bukan sebatas membuat monumen untuk memperingati para pasukan yang tewas tapi pemerintah Belanda juga kembali menggelar upacara peringatan 20 tahun perang Kolbano di monumen itu. Saya tidak mendapat informasi setiap berapa tahun mereka datang ke sana untuk mengadakan upacara peletakan bunga hingga Indonesia merdeka. Namun terbukti bahwa Pemerintah Belanda sangat menghargai jasa para "pahlawannya." Catatan perang Kolbano pun menghiasi halaman-halaman sejarah dan ruang-ruang museum Belanda.

Fakta ini terbalik 180 derajat dengan perlakuan bangsa kita terhadap pahlawannya. Walaupun perang Kolbano dikenal sebagai sebuah perang lokal yang cukup berpengaruh dalam usaha mengusir kolonial Belanda khususnya di Timor, hingga saat ini belum ada satupun situs yang dibuat oleh pemerintah sebagai bukti penghargaan terhadap para pahlawan Kolbano dan sebagai cerita bagi anak cucu ke depan tentang heroisme nenek moyang kita. Cerita perang Kolbano pun belum terpublikasi dan diketahui secara luas.

Tugu perang Kolbano yang dibuat oleh mahasiswa KKN
IKIP Kupang tahun 1968 (Dok. Aljhon Boimau).

Lokasi di mana para tentara Belanda dibunuh terdapat sebuah tugu sederhana yang menandai titik terjadinya pembunuhan terhadap para pasukan Belanda. Namun tugu itu luput dari perawatan memadai, hanya dikelilingi semak-semak dan hampir tidak diketahui keberadaannya oleh kebanyakan orang. Tak ada nisan yang mencatat nama mereka yang ditawan Belanda. Yang lebih miris adalah ternyata tugu itu bukan dibangun oleh pemerintah yang peduli akan sejarah perjuangan nenek moyang tapi atas inisiatif mahasiswa-mahasiswa KKN IKIP Kupang (sekarang Universitas Nusa Cendana) tahun 1968 bersama kepala desa saat itu, Wilhelmus Boimau.

Miris memang, ketika membandingkan perlakuan terhadap "pahlawan" oleh bangsa kita dengan bangsa Belanda. Bagi Belanda, setiap jiwa yang berkorban bagi mereka diberi penghargaan dan tempat khusus sementara bagi kita puluhan jiwa sekalipun tak begitu dipikirkan. Jangankan memasukkan kisah perang Kolbano dalam kurikulum sejarah nasional, membangun sebuah monumen peringatan dan mengukir nama mereka dalam sebuah prasasti pun tak ada.

Sebagai generasi penerus mereka yang pernah berkorban demi mempertahankan tanah air, saya ingin mengajak kita terutama pemerintah untuk mengingat kembali jasa mereka yang walaupun dengan kesederhanaan dan keterbatasan rela mengorbankan jiwa raga berjuang bagi kemerdekaan dari penjajah. Saya berharap cerita perang Kolbano bisa tercatat dalam buku-buku pendidikan sejarah nasional karena walaupun itu terjadi di pedalaman Pulau Timor, nilai heroismenya tidak kalah dibanding berbagai perang melawan Belanda di Jawa, Sumatra dan lain-lain. Pengorbanan para pahlawan Kolbano pun perlu mendapatkan penghargaan yang setara dari segenap elmen bangsa.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-69, 17 Agustus 2014.

2 comments: