Social Icons

Friday, May 26, 2017

Meo Bukan Sekadar Kucing bagi Orang Timor

Seorang Meo memegang senapan tumbuk di tahun 1910 (sumber: KITLV.nl)
Meo sejatinya adalah bahasa Timor untuk Kucing, jenis hewan mamalia karnivora bertubuh mungil yang konon sudah menjadi peliharaan manusia sejak ribuan tahun lalu. Hewan ini diakrabi manusia karena tingkahnya yang lucu dan relatif tidak berbahaya serta bisa menjadi penjaga rumah yang baik terhadap gangguan tikus dan hewan pengerat lain. Kucing sering terlihat bersantai-santai saja namun mata, hidung dan telinganya selalu awas. Jika ada "musuh" yang melintas akan segera disergap dengan lincah menggunakan kuku-kukunya yang tajam.

Kucing dikenal cukup lekat dengan kehidupan Orang Timor sejak dulu. Nama Meo kemungkinan berasal dari tiruan suara kucing dalam Bahasa Timor yakni "meeooo" (Bahasa Indonesia: meeoong; Bahasa Inggris-US: meeooww; Bahasa Inggris-UK: miiaaww; dalam bahasa anda apa?).

Orang Timor menyebut "kembarannya" sang kucing besar alias Harimau dengan nama Meo Asu (asu = anjing). Sebutan Meo Asu berarti bahwa Harimau memiliki wajah dan potongan tubuh seperti kucing tapi galak seperti anjing. Gabungan dari nama Meo dan Asu untuk menyebut Harimau ini bisa mengindikasikan bahwa sejak dulu Harimau tidak pernah ada di Pulau Timor sehingga tidak ada nama khusus dalam bahasa sehari-hari.

Berbeda dengan Meo, Meo Asu selalu dikonotasikan negatif, dalam artian Meo Asu dipandang sebagai hewan yang tidak bersahabat dengan manusia tapi ganas dan berbahaya, seperti suka memangsa hewan peliharaan maupun menerkam manusia sendiri. Karena itu, masyarakat pun sering menggunakan istilah Meo Asu sebagai kiasan untuk orang yang sifatnya buruk dan suka "memakan" orang lain.

Ciri khas kucing berpengaruh pada beberapa kosa kata Bahasa Timor diantaranya "nmeo" yang berarti mengintip dan "a meot" yang artinya mata-mata. 

Dalam sistim pemerintahan tradisional sebutan Meo dipakai sebagai julukan utuk panglima dan prajurit yang bertugas mengamankan suatu wilayah maupun memperluas wilayah kekuasaan. Kedudukannya berada di bawah Usif (raja) sebagai pemegang tampuk kepemimpinan tertinggi. Meo sangat berperan dalam keberhasilan seorang Usif.

Lukisan seorang Meo dari Amfoang sekitar tahun 1820-an;
telah diwarnai (sumber: IIAS.nl)
Perilaku kucing disematkan pada para penjaga keamanan ini karena para Meo dalam tugasnya harus mengedepankan sikap bersahabat dan mengamankan "tuannya" (raja dan rakyat), berani, lincah berperang, penuh perhitungan dan kehati-hatian sebelum menghabisi musuh, selalu siaga untuk mengatasi setiap gangguan serta mengedepankan taktik bukan asal serang.

Pimpinan dari para Meo disebut Meo Naek. "Naek" artinya besar, sehingga Meo Naek bisa diartikan sebagai Panglima Besar dalam wilayah kekuasaan itu. Penyandang Meo hanya laki-laki sedangkan perempuan tidak.

Julukan Meo biasanya disematkan pada sebuah marga yang diwariskan turun-temurun. Tidak sembarang marga bisa dijuluki Meo. Oleh karena itu, dahulu kala untuk mendapatkan julukan Meo, Nenek Moyang marga itu harus lebih dahulu melalui ujian dan tugas yang maha berat dari Usif (raja) disaksikan Tob (rakyat).

Misalnya harus melewati "ote naus" yakni ritual untuk mendapatkan petujuk dari Kekuatan Supranatural, seorang diri harus berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh, harus berhasil membunuh sosok incaran, dan lain-lain. Julukan Meo juga biasa diberikan pada pribadi tertentu yang dilibatkan dalam perang.

Sebuah contoh bagaimana para Meo menghabisi musuhnya bisa terlihat dari cerita Perang Kolbano tahun 1907. Dalam perang ini para Meo dibawah pimpinan Usif Boi Kapitan membunuh 16 orang pasukan Belanda melalui taktik cerdas yang dijalankan dengan rapi.

Tentara Belanda yang datang hendak menagih denda bagi Boi Kapitan dan rakyat Kolbano disambut terlebih dahulu dengan "natoni dan oko mama" lalu disuguhi minuman kelapa muda sehingga mereka nyaman dan tidak menyadari akan diserang.

Saat merasa aman itulah dengan cepat dan serentak wajah mereka disiram dengan cairan kurus dan abu ra'o (abu dapur) bercampur bubuk kurus untuk membutakan mata mereka terlebih dahulu sebelum digorok dengan "benas" (parang bertani) tajam yang telah diselipkan dibalik sarung para Meo.

Taktik ini dipakai karena mereka sadar kalau senjata tradisional yang mereka miliki diantaranya senapan tumbuk dan kelewang, tidak mungkin mengimbangi senjata otomatis milik Belanda dan perang dengan cara lain mungkin tidak berhasil.

(Catatan: Meo Naek pada saat perang Kolbano itu adalah Tua Lakapu, kakek buyut saya).


Kolbano, Mei 2017.

No comments:

Post a Comment