Pantai Kolbano kekinian. (Sumber kolase foto: pribadi, web & Facebook). |
"Ba'i buyut (bapaknya kakek) kamu cukup hebat membaca tanda alam dari pergerakan benda-benda langit itu," kata ba'i (kakek) mengawali cerita ketika sedang berdua di suatu malam musim kemarau, 20-an tahun silam dengan Bahasa Timor. Langit Desa Kolbano nampak cerah dihiasi ribuan bintang yang bertaburan.
"Dia jeli dan akurat meramalkan kondisi musim berikut, maupun memprediksikan kapan tiba musim hujan dengan tepat hanya dengan mengamati posisi bintang-bintang," ba'i melanjutkan. Saya selalu antusias menyimak cerita beliau seperti ini.
"Walaupun belum turun hujan dan tanah masih kering karena musim kemarau namun ba'i buyutmu akan menyuruh warga se-desa untuk lebih dulu menanam bibit jagung. Prediksinya tidak akan meleset, paling lambat 1 minggu lagi hujan pasti mengguyur," ba'i terus bercerita panjang lebar.
"Kalau sudah hujan tapi ba'i buyut bilang bintangnya belum sampai posisi bagaimana?" Tanyaku polos.
"Bapak saya itu akan melarang untuk mulai tanam hingga kapan tiba musim hujan yang sebenarnya," jawab ba'i.
"Wah, hebat ya..." Kagum cucu berusia sekitar 10 tahun saat itu.
"Ba'i ju bisa?"
"Iya, tapi tidak sehebat ba'i buyut," pungkasnya singkat.
***
Pada kesempatan lain saya 'mengkonfirmasi' pada bapak, cucunya ba'i buyut, tentang cerita ba'i itu.
"Bapak sempat memperoleh ilmu perbintangan dari ba'i buyut?"
"Dapat walau tak sehebat ba'i buyutmu dalam meramal," jawab bapak mirip jawaban ba'i.
"Coba bapak buktikan," ucapku bernada menantang.
Bapak lalu menunjuk mana bintang-bintang penting, di mana posisi-posisinya yang mengindikasikan musim tertentu, diselingi penjelasan 'lebih ilmiah' tentang berbagai macam rasi bintang yang biasa dipelajari di bangku sekolah. Maklum, beliau seorang guru SD. Prediksi musim sesuai posisi bintang oleh bapak memang masih bisa dijadikan patokan sejauh ini, walaupun tidak seakurat ramalan ba'i buyut seperti yang juga pernah dikisahkan ba'i.
***
Beberapa waktu lalu, saat mengobrol berdua, saya bertanya pada bapak.
"Bapak masih bisa memprediksi musim dari posisi bintang?"
"Sekarang mata saya sudah 'kalah'," jawab pria 74 tahun ini.
"Wah, padahal saya pingin tanya kira-kira apa kata bintang tentang musim sekarang ini."
Alasan hendak meminta padapat bapak dikarenakan sudah sekitar 1 dekade belakangan ini musim di desa kami dan daerah sekitar sepertinya sudah menyimpang. Biasanya bulan November atau paling lambat akhir Desember hujan sudah turun, tetapi sekarang sudah tidak begitu lagi. Lihat saja sekarang ini, untuk musim 2016, hujan baru turun di akhir Januari 2017.
Dalam hati terbesit penyesalan. "Kenapa dulu saya tidak lebih serius belajar tentang pengetahuan perbintangan nenek moyang saat kakek masih hidup dan mata bapak masih 'jernih'? Setidaknya sebagai pembanding ilmu meteorologi modern."
Saya mencoba menghubungkan perubahan iklim ini dengan teori-teori yang saya tahu menyangkut anomali cuaca akibat global waming yang sedang ramai digunjingkan belakangan. Mulai dari mencairnya es di kutub hingga terjadinya banjir tak menentu di negara-negara tropis, sebagai efek pemanasan global; dari masalah penggunaan bahan bakar fosil hingga peningkatan konsumsi daging sapi, sebagai penyebab memanasnya permukaan planet bumi; dan aneka teori lainnya.
Lelah berteori, saya berpikir, "ah, semua itu seolah hanya mempersalahkan orang lain atas kondisi iklim saat ini. Kenapa saya tidak menginstrospeksi diri saja, mungkin ini juga akibat salah saya? Seperti senandung melegenda Ebiet G Ade, 'mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita... Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita...'."
MUNGKIN TUHAN MULAI BOSAN MELIHAT TINGKAH KITA yang sekarang tak lagi serius bergotong-royong mengelola tanah pertanian tapi lebih senang menjadi penambang pasir dan batu warna di pantai sana?
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang berkubang dalam delusi bahwa tambang itu mensejahterakan rakyat tapi mengesampingkan studi dan pengalaman di mana-mana yang mengatakan tambang lebih cenderung merusak alam warisan untuk anak cucu?
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang amat mudah menyerah saat berjuang meraih ilmu hanya karena malu dengan teman-teman yang ke sekolah/kampus menggunakan motor keren, padahal demi mempertahankan alam kita, nenek moyang dulu sampai bertaruh nyawa melawan penjajah lewat Perang Kolbano yang terkenal itu?
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang hanya berteriak di media sosial untuk menghentikan tambang lalu menggalakkan pariwisata dan mata pencaharian warisan nenek moyang (pertanian-peternakan-perikanan), tapi enggan melakukan tindakan-tindakan nyata?
ATAU ALAM MULAI ENGGAN BERSAHABAT DENGAN KITA yang tega merusak pantai yang indah hanya demi imbalan tak sebanding terhadap pasir dan bebatuan hasil proses alam ratusan tahun?
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita yang tidak lagi peduli dengan reboisasi, penghijauan alam serta kelestarian mata-mata air?
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita yang telah mencemari pantai yang eksotis dengan bangunan dermaga bernilai ratusan miliar tapi tidak jelas manfaatnya bagi perekonomian masyarakat hingga saat ini?
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita yang sudah enggan menjadi petani, peternak dan nelayan tapi lebih tertarik menjadi pekerja non-formal/informal di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Malaysia?
Atau alam mulai enggan .....
Ah, coba kita bertanya pada ombak yang mendesir.
____
Coretan Kecil Ana "Korea" (Kolbano Area)
Pither Yurhans Lakapu
No comments:
Post a Comment