Social Icons

Friday, October 14, 2016

Tak ada Kebahagiaan, Penderitaan pun Bisa Dibagikan

Grup Mielitis Transversa Indonesia (capture by Pither)
Pikiran yang pasti terbesit terkait "berbagi dengan sesama" adalah ada pihak yang berbahagia hidupnya karena memiliki kelebihan tertentu (materi, skill, jasa dll) lalu kelebihan itu dibagikan kepada orang lain yang sedang kekurangan. Jarang orang membagikan sesuatu yang mana dirinya sendiri kekurangan bahkan menderita karenaya. Tetapi agak terbalik apa yang hendak saya tuliskan di sini.

"Berbagi penderitaan," itulah salah satu motivasi ketika saya mulai menggoreskan catatan-catatan menyangkut pergulatan saya menghadapi sebuah penyakit ganas dan langka pertengahan tahun 2010. Serangan inveksi saraf tulang belakang Mielitis Transversa saat itu membawa saya kepada titik terdekat dengan kematian sembari menghadirkan pertanyaan apa jenis penyakit "aneh" itu, bagaimana cara tepat menghadapinya, harapan hidup saya dan lain-lain.

Keganasan Mielitis Transversa terbukti dari hanya dalam hitungan hari hampir 3/4 badan saya lumpuh dan saya terkapar kritis di ICU selama 2 bulan. Lalu berbulan-bulan dirawat di RSUD WZ Yohannes Kupang dilanjutkan dengan menjalani terapi di RS ternama di Surabaya selama satu tahun penuh. Tidak sedikit biaya telah terkucurkan, tak terukur tenaga yang terkuras namun hasilnya saya tetap lumpuh setengah badan lebih.

Berjuang selama itu makin membuka kenyataan bahwa informasi praktis tentang Mielitis Transversa masih sangat jarang didapatkan. Informasi praktis dimaksud adalah seputar pengalaman pribadi dan upaya-upaya melawan penyakit ini. Yang cukup mudah diperoleh hanyalah kajian-kajian ilmiah dan disajikan dalam bahasa medis sehingga cukup sulit dipahami orang awam.

Minimnya informasi tentang Mielitis Transversa mungkin dikarenakan hanya sedikit orang diberi 'kesempatan' untuk menderita penyakit ini (kata ststistik Amerika -karena statistiknya Indonesia belum jelas- terdapat 1 penderita setiap 125.000-250.000 orang/tahun). Lalu dari jumlah yang sedikit itu, sebagian besar tidak sempat/mampu menuliskannya karena berbagai alasan.

Menguat dorongan untuk membagikan sedikit gambaran penderitaan saya dalam bentuk tulisan mengingat Mielitis Transversa menyerang tanpa pandang bulu. Siapa saja dan kapan saja bisa kena sehingga informasi ini akan dicari orang lain. Mungkin sampai dengan saat ini hasil pengobatan masih jauh dari harapan tapi apa salahnya saya membagikan bagaimana rasanya mederita salah satu penyakit langka yang sering dianggap masyarakat Indonesia sebagai "penyakit non medis" ini dan usaha apa saja yang telah saya perbuat.

Pasti banyak orang penasaran dan ingin tahu gambaran penderitaan yang telah saya alami. Bagaimana nyerinya badan ini hingga tubuh seperti melayang-layang, bagaimana rasanya napas tersengal dan hampir putus, bagaimana suasana batin ditengah kondisi dimana dokterpun sudah menyerah, bagaimana berjuang untuk hidup dalam keadaan membuka mata pun sangat berat, bagaimana melewati hari-hari sepi selama berbulan-bulan di ICU, bagaimana pergolakan hati ketika tahu obat yang dibutuhkan berharga ratusan juta sedangkan kemampuan hanya belasan juta, bagaimana sulitnya latihan menggerakkan organ-organ tubuh yang sudah kaku, apa itu neuropatic pain (nyeri saraf) dan bagaimana "sensasinya," serta aneka penderitaan lain.

Saya juga ingin menulis untuk meninggalkan jejak sekaligus mengalihkan perhatian dari deraan kesepian sebagai efek dari seorang yang dulunya normal dan aktif tapi kini lumpuh dan nyaris nihil aktifitas.
Perjuangan yang saya ceritakan mungkin akan dianggap kurang maksimal, salah mengambil keputusan tertentu, terlalu manja, atau penilaian minor lainnya, terserah! Toh saya hanya ingin berbagi penderitaan. Sedikit berharap dari ketidaksempurnaan saya mungkin orang lain bisa belajar untuk bertindak lebih sempurna.

Artikel pertama Kompasiana berjudul Beta Sonde Pernah Menyangka pun meluncur tanggal 8 Mei 2012. Selanjutnya walaupun tidak rutin karena harus melawan berbagai gejala fisik bekas Mielitis Transversa seperti kelelahan dan jari-jari tangan yang masih tremor (gemetaran), saya terus meng-upload artikel-artikel sederhana di Kompasiana.

Hasil berbagi penderitaan ini ternyata diluar dugaan, satu per satu saya dihubungi oleh rekan-rekan senasib dari berbagai penjuru Indonesia seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Pontianak dan Makassar. 'Mbah' Google, 'Om' Medsos dan 'Abang' Kompasiana membawa mereka pada saya karena mereka juga didiagnosa menderita Mielitis Transversa atau tidak divonis Mielitis Transversa tapi memiliki gejala penyakit yang mirip. Masing-masing berbagi cerita bagaimana mereka diserang, pengobatan yang telah dijalani maupun tingkat keberhasilan sampai saat ini. Tak ketinggalan saling tukar cerita tentang hal-hal privat yang hanya bisa dipahami oleh kami penderita Mielitis Transversa.

Seiring berjalannya waktu dan makin banyaknya penderita yang menghubungi saya, tercetuslah ide untuk membuat sebuah grup medsos sebagai wadah untuk saling berbagi pengalaman dan bertukar informasi. Bersama belasan penderita diantaranya Mitha, Amir, Yoyoc & Asty, Basuni, Feby, Alfy, Bayu didukung oleh Winarto, seorang bapak yang anaknya juga survivor Mielitis Transversa, dan dr. Ahmad, spesialis saraf dari RS Hasan Sadikin Bandung, serta dr. Leon kami mengaktifkan grup Facebook Transverse Myelitis (Mielitis Transversa) Indonesia. Di sana para penderita bebas berdiskusi dan berbagi pengalaman bagaimana menghadapi penyakit Mielitis Transversa dan informasi-informasi penting terkait.

Survivor yang sudah lebih dahulu sakit dan pernah menerima perawatan tertentu akan berbagi pengalaman dan kiat kepada mereka yang baru atau belum banyak tahu, terutama kiat praktis yang jarang didapatkan lewat teori. Misalnya di mana bisa mendapatkan penanganan cepat dan memadai, jenis-jenis pengobatan yang bisa dijalani (tentang tindakan medis disarankan untuk mengikuti petunjuk dokter yang menangani), hal-hal penting yang perlu diperhatikan pasien, gambaran kebutuhan biaya, trik fisioterapi dan sebagainya. Dokter-dokter spesialis saraf yang bergabung dengan senang hati berdiskusi dan menjawab berbagai pertanyaan kami.

Grup yang awalnya hanya beranggotakan belasan orang ini pun makin bertumbuh. Jumlah anggota sampai dengan detik ini sudah 107 orang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka terdiri dari penderita, dokter spesialis saraf, dokter umum, keluarga pasien maupun orang-orang yang menaruh perhatian pada Mielitis Transversa dan segala kekompleksannya. Memang masih kecil secara jumlah namun cukup besar secara manfaat.
Satu hal yang membahagiakan dari kehadiran grup ini adalah penderita Mielitis Transversa tidak lagi merasa sendirian berjuang. Sudah ada wadah dan teman untuk saling menyemangati dan berbagi suka-duka mengidap Mielitis Transversa.

Bahagia sekali hati ini ketika ada anggota grup yang menulis status, "saya sudah bisa berjalan," atau, "saya sudah sembuh 90%," atau, "saya sudah bisa masuk kerja/kuliah/sekolah," atau, "sekarang saya bersemangat lagi untuk fisioterapi," dan testimoni-testimoni sejenis.
Semoga grup kecil ini semakin membawa manfaat bagi penderita Mielitis Transversa di seluruh Indonesia.

Dibalik keadaan terpahitpun pasti ada hikmah yang bisa dibagikan!

#Repost

3 comments:

  1. Haloo om Pither! Senang sekali baca tulisan ini.
    Beta pribadi sejak pertama bertemu om Pither (dikenalkan om JL), selalu terinspirasi oleh semangat om Pither.
    Terima kasih banyak untuk inspirasinya om, itu sangat berharga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih kk Nike. Dukungannya jg selalu menguatkan beta... Sukses ya kak studinya...

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete