Dalam masa kritisku dan dirawat di ICU RSUD WZ. Yohannes Kupang, 2,5 tahun lalu, banyak hal yang membuat dokter-dokter spesialis harus turun tangan menangani sakitku. Bukan hanya dokter spesialis saraf tapi juga dokter spesialis penyakit dalam, dokter rehabilitasi medik (fisioterapi) hingga psikiater. Saya dikonsultasikan ke psikiater mungkin karena sering mengigau atau berbicara tidak karuan, mungkin semangat saya sudah kelihatan sangat menurun atau pertimbangan lain dari dokter saraf, saya tidak tahu.
Saya ingat ketika itu psikiaternya datang mewawancarai untuk melihat kondisi kejiwaan saya. Beliau bertanya mulai dari hal-hal paling kecil seperti menyebutkan nama anggota keluarga, riwayat keluarga dan pendidikan, aktifitas sehari-hari, impian-impian dan diakhiri pertanyaan prinsip, "Jika anda masih ingin hidup, itu untuk alasan apa?" Saya menjawab dengan singkat, "Saya merasa belum berbuat apa-apa untuk melayani sesama dan memuliakan Tuhan dengan napas hidup yang sudah Tuhan berikan selama ini." Dokter lalu bercanda, "Oh, saya kira karena ingin menikah." Hahaha.
Sesudah itu dokter tidak bertanya lagi dan berkata kepada perawat yang mendampingi, "Saya rasa pasien ini belum membutuhkan bimbingan dan therapy psikologi." Dokter lalu meresepkan obat bernama Zolof (maaf kalau salah ingat) dan berpesan boleh diminum atau tidakpun tak ada masalah. Saya meminta untuk tidak diminum saja, khan tidak penting amat, lagi pula obat lain yang harus diminum banyak sekali.
Jika anda masih ingin hidup, itu untuk alasan apa?
Pertanyaan ini saya pikir sebuah pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh semua orang, sehat atau sakit, tua atau muda, status sosial tinggi maupun rendah. Setiap orang apapun keadaannya, haruslah mempunyai alasan kenapa ia masih ingin hidup. Tidak saja ketika dalam kenyataan hidup yang sulit tapi dalam suasana ternyamanpun harus terus bertanya tentang alasannya untuk tetap hidup.
Jawaban atas pertanyaan ini menunjukkan tujuan hidup dan harapan seseorang. Bila tidak mempunyai alasan mengapa masih ingin hidup sama saja ia sudah mati. Ketiadaan jawaban terhadap pertanyaan ini menggambarkan ada ketidakberesan dalam jiwa orang itu. Ia berjalan dalam kekosongan jiwa, melangkah tanpa harapan.
Mungkin ada yang menjawab, "Saya masih ingin hidup karena belum saatnya Tuhan mengambil kembali napas hidup saya." Menurut saya jawaban ini cenderung melihat kesempatan hidup hanya dari sisi berkat Tuhan tapi tidak melihat apa yang harus dibuat sebagai respon atas anugerahNya yang cuma-cuma itu.
Rasul Paulus menulis dalam kondisi hidup yang tertekan dari penjara di Roma kepada jemaat di Filipi, "Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus--itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu." (Filipi 1:21-24).
Orang percaya harus mempunyai tujuan hidup bahkan untuk mati juga sudah ada tujuannya. Paulus memiliki alasan kenapa ia harus hidup : bekerja bagi Kristus di dunia untuk memberi buah. Dan kalaupun ia mati sudah ada tujuannya : pergi dan diam bersama-sama Kristus.
Bagi Paulus persoalannya bukan mati atau hidup, asalkan kedua-duanya memuliakan Tuhan. Di satu sisi memang kematian akan menyelesaikan perkara penderitaan dan kesusahan di dunia ini. Kematian berarti permulaan dari menikmati secara penuh persekutuan keselamatan yang telah Kristus kerjakan (Filipi 1:23). Namun, disisi lainnya Paulus melihat kebutuhan dan sekaligus panggilan Tuhan untuk tetap berkarya di dalam dunia ini. Oleh sebab itu Paulus memutuskan untuk taat pada kehendak Allah yaitu tinggal di dalam dunia ini untuk hidup menghasilkan buah (Filipi 1:22, 24-25).Y
Pengalaman hidup Paulus yang sudah demikian sempurna itu dilatarbelakangi oleh ketaatan, penyerahan diri dan pengosongan diri untuk dipakai Kristus sehingga mati atau hidup bukan lagi masalah. Yang terutama jika masih hidup adalah memberi buah kebenaran demi Kristus yang telah rela mati untuk menyelamatkan manusia. Kesempatan hidup bukan untuk ogah-ogahan dan bermegah diri memuaskan keinginan daging tetapi gunakanlah dengan baik untuk melayaniNya.
Jika saat ini kita masih diberi napas hidup, sudah seharusnya kita terus bertanya pada diri, "Untuk alasan apa saya hidup?" Dan bagiku pertanyaan lanjutannya, "Dengan kesempatan hidup yang masih diberikan, sudahkah saya memaksimalkannya untuk melayani dan memuliakan Tuhan?" ***
Doaku, "Tuhan, kiranya keinginanku yang terdalam adalah jika saya masih lama hidup di dunia ataukah akan segera mati, biarlah hidupku berguna bagi sesama dan hanya memuliakan Engkau."
No comments:
Post a Comment