Social Icons

Wednesday, December 11, 2013

WASH NTT dan Cambuk di Balik Iklan CSR

Dimuat di harian Timor Express, Rabu (11/12/13) juga di situs IRGSC: (www.irgsc.org/opinion/WASH-NTT.html)

Kontroversial iklan CSR dari Lifebouy bertema "5 tahun bisa untuk NTT" yang mengambil lokasi di Desa Bitobe, Kabupaten Kupang akhirnya oleh Unilever dicabut dan dihentikan dari semua stasiun TV di Indonesia. Dengan demikian, juru kampanye lewat petisi di media sosial Change merayakan keberhasilan atas suksesnya petisi tersebut.

Iklan CSR kesehatan adalah pisau bermata dua. Bagi Lifebuoy, terjadinya diare karena kurangnya kesadaran masyarakat NTT akan pentingnya kebersihan. Bantuan konsumen dengan membeli sabun Lifebuoy diharapkan bisa membantu balita-balita di NTT untuk bebas dari diare sehingga bisa merayakan ulang tahun kelima dan seterusnya.

Selain cita-cita mulia, si pengiklan membantu menanamkan paradigma, wacana dalam menciptakan kebiasaan menjaga kesehatan (seperti promosi cuci tangan dengan sabun), serta pendidikan masyarakat, sekaligus bertujuan menciptakan keuntungan komersial. Sebuah jalan tengah yang sesungguhnya mulia.

Sebelumnya, iklan CSR dengan mengambil setting krisis air di NTT dengan tag-line terkenal "Sumber Air Su Dekat" yang dilakukan oleh raksasa Air Kemasan asal Perancis yakni Aqua-Danone yang populer di televisi 3-4 tahun lalu. Iklan "Satu Untuk Semua" tersebut mengambil latar Desa Suni Kabupaten TTS menggambarkan keberhasilan Aqua-Danone membantu penyediaan air bersih di Kabupaten TTS. Iklan ini sebagai ungkapan terima kasih atas partisipasi masyarakat melalui program "Aqua 1 untuk 10," dengan membeli 1 liter Aqua konsumen Aqua telah ikut menyumbang 10 liter air bagi masyarakat yang membutuhkan.

Ia menjadi persitiwa kontroversial manakala modus kapitalisasi krisis kemanusiaan digunakan dan bercampur baur dengan motif pendidikan publik serta kepentingan komersial. Yang pasti, ini adalah hak mutlak pembuat iklan CSR. Kritik atas pendekatan iklan ini biasanya berlatar ketidak-puasan atas praktek "image-laundry" - yakni sebuah upaya membangun citra positif, populist (pro-kemiskinan) serta kadar pendidikan publik tertentu dengan tujuan komersial yang sah dan dapat dipahami.

Masalahnya adalah Iklan CSR dapat menjadi bumerang bagi si pemilik iklan. Bahwa dengan konektifitas media sosial, maka gerakan counter iklan CSR dapat menciptakan image negatif bagi pemilik iklan. Masalahnya bertambah bila banyak orang merasa dirugikan oleh iklan tersebut mulai dari politisi, gubernur, aktifis hingga masyarakat luas yang masih memiliki 'harga diri'.

Perbedaan Cara Pandang

Bagi oponent (yang menolak) iklan bergaya CSR, perusahaan hanya mengeksploitasi kemiskinan maupun keburukan NTT untuk dijadikan komoditi bisnis. Iklan Lifebuoy misalnya, dinilai melecehkan martabat NTT di mana masalah yang diangkat hanya di Desa Bitobe tapi digeneralisir menjadi NTT secara keseluruhan.

Sedangkan bagi proponent (pendukung) iklan tersebut merupakan bentuk gugahan bagi masyarakat akan pentingnya berbagi dan berterima kasih kepada perusahaan-perusahaan yang peduli dan telah menjalankan tanggung jawab sosialnya dalam hal ikut mensejahterakan rakyat NTT. Iklan-iklan ini juga mendorong pemerintah untuk serius menangani masalah kesehatan di NTT. Ketidak-puasan Pemda atas iklan tersebut dapat diibaratkan "Buruk rupa, cermin dibelah".

Masalahnya adalah harapan atas CSR sebagai malaikat penyelamat masyarakat NTT dari masalah WASH merupakan sebuah janji nirwana yang keberlanjutannya dipertanyakan. Lebih dari itu, skala CSR akan tetap cenderung bersifat hiper-lokalitas - artinya hanya berfokus pada satu titik (areal) tertentu. Selalu ada ketidakpastian dalam intervensi pendampingan maupun finansial. Toh, tiap iklan selalu ada batas umurnya.

Melampaui Analisis Nilai Nominal (Face Value)

Lepas dari pro-kontra kedua iklan di atas, ada pesan yang kuat bahwa bahwa masalah Tri-tunggal ketersediaan air bersih, sanitasi serta perilaku hidup sehat (atau yang sering disebut sebagai WASH alias Water, Sanitation and Hygine) masih menjadi permasalahan serius bagi NTT saat ini.

Penulis melihat bahwa apa masalah WASH masih belum disentuh secara memadai. Apa yang dilakukan hanyalah penanganan darurat sedangkan upaya penaganan jangka menengah dan panjang yang lebih penting tidak disentuh. Pemerintah dan masyarakat perlu menyadari akan pentingnya ketersediaan air bersih bagi masyarakat. Berdasarkan penelitian Institute of Resource Governance and Social Change (lihat www.irgsc.org), NTT butuh 250 tahun untuk mengejar ketertinggalan dalam hal sanitasi (lihat Frans dan Takesan 2013).

Prioritas politik pembangunan NTT dalam pembangunan air sanitasi serta hygine masih perlu reformasi yang lebih serius. Tetapi tersirat dari iklan Lifebuoy bahwa air bersih menjadi masalah utama. Untuk bisa mencuci tangan menjadi bersih tentu dibutuhkan air bersih pula. Variable diare juga berkaitan dengan masalah sanitasi.

Upaya penyediaan air bersih tidak akan efektif bila hanya mengatasi ketersediaan air di tingkat rumah tangga sementara sumber air tidak diperhatikan dengan serius. Banyak jaringan pipa di pedesaan yang telah dibangun baik oleh pemerintah maupun swasta menjadi mubazir oleh semakin berkurangnya debit hingga keringnya mata air. Jaringan pipa, reservoir, bak penampung dan fasilitas yang sudah dibagun akan mubazir bila tidak dikuti dengan upaya melestarikan sumber mata air yang telah ada.

Kelestarian hutan sebagai sumber utama air bersih harus lebih didahulukan mengingat kian hari luas hutan kita semakin menyusut. Data Dinas Kehutanan tahun 2005 menyebutkan untuk NTT luas hutan hanya tertinggal 1,5%, padahal idealnya luas hutan untuk mendukung keseimbangan ekosistem termasuk sumber daya air menurut pasal 18 UU No. 41 tahun 1999 adalah 30% dari luas wilayah. Peranan hutan bukan saja bagi terjaganya debit mata air juga menjaga stabilitas permukaan air tanah bila masyarakat menggunakan sumur sebagai sumber air. Tanpa menjaga kelestarian hutan (termasuk didalamnya meminimalisir sistim pertanian tebas bakar), debit mata air dan permukaan air sumur akan semakin menyusut dari tahun ke tahun. Memang dibutuhkan waktu yang panjang untuk mewujudkannya namun bukan mustahil bila ada kesadaran dan kemauan semua pihak.

Selain menjaga kelestarian hutan sebagai strategi jangka panjang, pembangunan embung, check dam, bendungan dan sarana penampung lain menjadi strategi jangka menengah penyediaan sumber air masyarakat. Sarana-sarana itu membantu menjebak air hujan yang berupa limpasan permukaan agar tidak terbuang dengan sia-sia.

Topografi NTT berupa pegunungan dengan permukaan tanah yang gundul, menyebabkan air hujan yang turun akan dengan cepat mengalir melalui kanal-kanal alam yang ada menuju laut, tidak banyak butiran hujan yang meresap untuk menjadi cadangan air bagi air tanah maupun mata air yang ada. Karena itu saatnya pemerintah bersama masyarakat bahu membahu berusaha agar air hujan yang turun hanya 2-3 bulan dalam setahun sebanyak mungkin dijebak untuk menjadi cadangan air. Fasilitas air baku yang sudah dibangun bisa berfungsi sepanjang tahun karena debit air yang tetap stabil.

CSR adalah sebuah respon jangka pendek. Anggapan CSR entah sebagai malaikat penolong ataupun setan, tidak terlalu penting karena manusia yang mengalami krisis WASH lebih penting. Dalam jangka menengah yang perlu dilakukan adalah membangun sarana-sarana penampung air berupa embung, check dam maupun bendungan agar butiran air hujan yang turun dapat dijebak dan tidak mudah terbuang ke laut. Sedangkan untuk jangka panjang, konservasi hutan mutlak diimpelementasikan. Tak peduli berapapun jumlah dana digelontorkan bagi pemenuhan air bersih tetapi tidak diimbangi dengan upaya menjaga kelestarian sumber air maka itu hanyalah usaha yang sia-sia.

Penutup

Masalah WASH adalah kompleks. Otoritas pengelolaan tersebar dalam berbagai dimensi dan sektor seperti, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, ekonomi, politik anggaran, kehutanan, hukum hingga pada fakta bahwa peran serta masyarakat amat penting.

Yang pasti, intervensi CSR perlu belajar dari intervensi eksternal seperti LSM Internasional di kabupaten Kupang yang masih berkutat dalam 40 tahun pada isu yang sama di desa-desa yang sama di Kabupaten Kupang terkait WASH.

Karenanya, Mimpi Lifebuoy bahwa Lima Tahun Bisa, merupakan sebuah bualan sekaligus mitos bila diletakan dalam konteks pembangunan WASH NTT yang mengalami stagnasi dalam 40 tahun terakhir (Kertas Kerja IRGSC No 7, Antropologi Sanitasi di Timor Barat: www.irgsc.org/pubs/wp/IRGSCWP007Antropology-of-sanitation.pdf.)


No comments:

Post a Comment