Seorang pria Timor meniup To'is, 1930 (dokumentasi KITLV). |
Beberapa hari lalu saya "berjalan-jalan" ke situs KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies yang menyimpan berbagai koleksi seputar sejarah wilayah Asia Tenggara, Oseania dan Karibia. Pada link Galery saya tertarik pada sebuah foto bercap tahun 1930 yang menampilkan seorang pria paruh baya suku Timor di SoE, Timor Tengah Selatan sedang meniup sebuah terompet panjang. Caption gambarnya berbunyi Man met een hoorn te Soë (Pria dengan terompet di SoE).
Melihat gambar itu, terbesit ide untuk menulis sedikit tentang terompet tradisional suku Timor ini. Thanks juga buat kak Ben yang ikut menginspirasi munculnya ide tulisan ini.
Ada berbagai terompet tradisional di Indonesia maupun belahan dunia lain yang dibahasabakukan sebagai "sangkakala" (sangka: kulit kerang, kala: dibunyikan berkala). Selain kulit kerang, terompet yang disebut sangkakala juga bisa terbuat dari tanduk kerbau, sapi, kayu besi dan lain-lain. Dibunyikan dengan cara meniup ujungnya. Kegunaan utama biasa berkaitan dengan musik, perang, maupun ibadah keagamaan.
Usia sangkakala terbilang sangat kuno. Dalam budaya Timur Tengah yang peradabannya sudah maju sejak ribuan tahun lalu dan tercatat rapi dalam Alkitab, sangkakala dicatat sebagai sebuah alat yang cukup berperan dalam aktifitas harian masyarakat. Pertama disebut dalam Kitab Keluaran 19:13 (sekitar 1.500 tahun SM alias 3.500 tahun lalu). Sangkakala dibuat dari tanduk biri-biri jantan dan dipakai untuk berbagai keperluan seperti mengumpulkan tentara, sebagai alat musik, bahkan masih digunakan dalam peribadahan Yahudi.
Kembali ke cerita foto di atas. Tidak ada catatan pasti sejak kapan orang Timor sudah mengenal dan memanfaatkan alat tradisional tiup ini. Namun dari tutur sejarah hingga tradisi yang masih bertahan hingga kini, bisa diduga usianya pun sudah setua peradaban orang Timor sendiri.
Sangkakalanya orang Timor disebut to'is.
To'is biasanya terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Kebanyakan dari tanduk kerbau karena bentuknya yang mulus, besar dan panjang sehingga menghasilkan suara yang bulat dan nyaring. Selain itu, keberadaan spesies kerbau pun lebih dahulu ada dibanding sapi. Suara to'is dapat menjangkau radius berkilo-kilo meter jauhnya.
Sejak dahulu to'is sering dipakai untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai isyarat panggilan untuk berkumpul, isyarat bahaya/perang, pemberitahuan tentang orang meninggal, bunyian mengiringi jenazah yang ditandu menuju liang lahat, dan sebagai bunyi-bunyian pelengkap sorak-sorai (menyambut kedatangan raja, menang perang dan lain-lain).
To'is (dokumentasi pribadi). |
Untuk membedakan apakah suara to'is yang terdengar itu berupa panggilan, pemberitahuan atau maksud tertentu, bisa dilihat dari tarikan suara to'is. Suara datar dan terputus-putus berarti sebuah panggilan, bunyi datar-panjang berarti bagian dari sorak-sorai, sedangkan bila terdengar suara tarikan panjang mendayu-dayu berarti pemberitahuan bahwa ada warga yang meninggal.
Lebih dari itu to'is menjadi salah satu simbol pemersatu dalam masyarakat. Suara to'is mengindikasikan bahwa ada sesuatu masalah yang patut diketahui dan disikapi bersama semua masyarakat yang berada dalam jangkauan bunyi to'is.
Ketika Injil mulai masuk ke tanah Timor akhir abad 19 sehingga mayoritas masyarakatnya mulai menganut agama Kristen, to'is diadopsi untuk keperluan-keperluan keagamaan masyarakat lokal. Misalnya sebagai alat pemanggil untuk berkumpul dan beribadah (biasanya untuk kegiatan-kegiatan di luar gedung gereja seperti ibadah rayon, ibadah padang dan lain-lain), selain fungsi yang masih dipertahankan diantaranya pemberitahuan tentang orang meninggal dan sebagai bunyi-bunyian menyambut tahun baru. To'is cukup melekat dalam aktifitas rohani orang Kristen lokal, juga diterjemahkan dan dimaknai sebagaimana lambang dan makna sangkakala dalam Alkitab.
Bagaimana nasib to'is saat ini?
Penggunaan to'is masih bisa dijumpai di berbagai tempat di pedalaman Timor Barat khususnya Timor Dawan yang meliputi Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Kupang. Fungsinya sebagian besar masih seperti yang saya uraikan di atas.
Namun, kemajuan teknologi dewasa ini sangat mengikis penggunaan alat ini. To'is sudah digantikan dengan peralatan-peralatan berteknologi modern. Misalnya pemberitahuan tentang orang meninggal tidak lagi mengandalkan bunyi to'is tapi SMS/telepon, bunyi-bunyian untuk tahun baru mengandalkan petasan dan kembang api, orang penting disambut dengan bunyi jejeran loudspeaker, dan sebagainya. To'is pun kebanyakan hanya disimpan sebagai koleksi warisan nenek moyang karena tidak mudah rapuh dimakan usia.*
Cat. Dimuat juga di Kompasiana.
No comments:
Post a Comment