Social Icons

Friday, November 14, 2014

Apa yang Dipikirkan Pasien di ICU? (1)

Menuju ruangan tes EMG RSU Dr Soetomo Surabaya,
Januari 2011
Beberapa hari lalu statistik blog saya merekam kata kunci pencarian yang bunyinya seperti judul di atas. Si pencari informasi dibawa 'mbah' google ke blogku karena artikel Di ICU Saya Mendengar Cerita Cinta Itu. Memang di situ saya sedikit menyinggung tentang apa yang ada di pikiran saya ketika menghuni ICU selama lebih kurang 2 bulan.

"Wah ternyata ada orang yang penasaran dengan apa yang dipikirkan pasien penghuni ICU," pikirku. Mungkin orang dekatnya sedang dirawat di ICU, hanya sekedar iseng atau ada alasan lain sehingga ia bertanya kepada google, saya tidak tahu.

Apapun alasannya, kata kunci yang dipakai itu menggugah saya untuk menulis artikel ini. Saya merasa perlu menulis lebih detail karena tidak semua orang "berkesempatan" untuk merasakan "sensasi" menghuni ICU. Saya termasuk "beruntung" pernah menghuni ICU sehingga sayang kalau pengalaman itu tidak saya bagikan. Hehehe...

Dulunya ICU adalah salah satu tempat di rumah sakit yang paling menyeramkan bagi saya selain ruangan lain seperti ruangan operasi dan ruangan hemodialisa (cuci darah). Saya berpikir mereka yang menghuni ICU pasti dihantui ketakutan akan malaikat maut yang "siap siaga" menjemputnya. Pasien juga pasti ketakutan karena di sisi kiri kanannya adalah orang-orang yang juga kritis dan bisa meninggal setiap saat.

Belum lagi kondisi ICU yang disetting untuk jauh dari hiruk-pikuk pengunjung tertentu membuat ruangan itu semakin "menyeramkan." Mungkin juga pasien diganggu roh jahat (setan) atau arwah orang-orang yang sudah meninggal di ruangan itu. Walaupun saya tidak takut setan dan segala manifestasinya tapi saya punya anggapan bahwa iblis selalu memanfaatkan kesempatan untuk menggoda dan melemahkan iman seseorang disaat kondisi psikis sedang down mengikuti kesehatan fisik yang terganggu, dengan mengambil wujud yang "aneh". Atau saya terlalu dipengaruhi film horor ya? hehehe....

Namun apa yang saya takutkan itu akhirnya menjadi kenyataan ketika saya menderita Gullian Barre Syndrome (GBS) yang nantinya setelah di-cross check ke Surabaya bukan GBS tapi Mielitis Transversa. Saya harus menghuni ICU dan tak tanggung-tanggung, waktu 2 bulan saya habiskan di sana hingga oleh para perawat saya dijuluki "Lurah ICU." Hehehe...

Tentunya apa yang saya gambarkan disini adalah pengalaman pribadi saya bukan semua orang. Pikiran masing-masing orang tentu berbeda tergantung kedewasaan iman, jenis sakit yang dialami (mis. celaka atau mengidap penyakit serius tertentu), tekanan psikologi ikutan seperti ketersediaan biaya, dan lain-lain.

Proses dari pasien ruangan perawatan menjadi pasien ICU berlangsung dengan cepat dan saya sendiri awalnya tidak siap untuk menghadapinya. Saat itu saya harus segera dipindah dari ruangan Kelas I ke ICU karena dicurigai saya mengidap penyakit GBS. Saya harus ditangani dengan cepat dan intensif mengingat tubuhku segera masuk dalam kondisi kritis. Pemeriksaan lanjutan oleh dokter ahli saraf menguatkan diagnosa itu.

Separuh tubuh mati rasa, sulit menelan, pandangan mata kabur, napas sesak dan gejala klinis lainnya. Dari kepala hingga kaki dipasangi atribut khas ICU seperti infus, O2, tensimeter otomatis, alat rekam jantung, paru-paru dll.

Sebelum ini saya masih menganggap ICU adalah tempat yang menyeramkan tapi kini saya harus menghuninya. Awalnya ketakutan itu ada tapi ketika divonis menderita GBS justru membuat pandangan saya jadi berubah. Mengapa?

Ini tak lain disebabkan oleh pengalaman saya berhubungan dengan GBS. Baru setahun yang lalu teman akrabku meninggal di ICU karena penyakit yang sama. Waktu itu teman saya itu meninggal hanya dalam waktu 3 hari di ICU yang sama. Ketika dia sakit, saya mencari informasi lewat internet dan mendapati bahwa penyakit ini menyerang dengan ganas dan biaya pengobatannyapun sangat mahal.

Dari informasi yang saya himpun itu, seorang pasien GBS bisa meninggal dalam rentang waktu 4 hari. Bila pasien bertahan melewati 4 hari kritis itu, ada harapan si pasien bisa pulih. Ini artinya kemungkinan terburuk adalah saya juga akan mati 4 hari lagi. Sesuai apa yang saya tahu, ketahanan tubuh pasien GBS sangat bergantung pada kondisi kejiwaannya. Dokterpun menasihatkan untuk berpikir rileks, jangan terlalu tertekan.

Ketika divonis demikian, yang ada di pikiran adalah keyakinan Tuhan akan turun tangan menjamahku dengan caraNya, dan kalau memang Tuhan menghendaki hidupku hanya sampai di sini, saya serahkan semua kedalam tanganNya. "Untuk apa saya bersikeras? Bukankah hidup ini milikNya?" Keinginan hati adalah sembuh tapi kalau memang harus berpulang saat ini mau bilang apa lagi? Saya percaya apapun yang terjadi padaku itulah yang terbaik. Tak ada sesuatu yang terjadi padaku tanpa sepengetahuanNya!

Saya terus berdoa memohon uluran tanganNya dan meminta ampun atas segala dosa. Setiap kali tersadar dari tidur saya berusaha meyakinkan diri bahwa saya masih hidup, dilanjutkan dengan syukur yang tak terhingga masih diberi kesempatan untuk menikmati hidup ini.

Saya tidak lagi menghiraukan suasana dalam ruangan itu yang terkadag sangat hening tapi kadang sangat ribut oleh jeritan pasien lain atau tangis tak tertahan keluarga pasien yang baru saja meninggal. Terkadang banyak pasien yang sembuh dan pulang tapi terkadang 1-2 orang meninggal dalam sehari. Ada yang "kerasan" tinggal disana tapi ada yang segera "berpulang" sesaat setelah masuk. Ada yang masuk dalam kondisi kritis, ada juga yang kondisinya tidak kritis tapi terpaksa masuk ICU karena tidak tersedia tempat di ruangan perawatan.

Bersambung ke: Apa yang Dipikirkan Pasien di ICU? (2).

1 comment:

  1. Saya juga pernah merasakan kd pasien icu.. Pengalaman saya adalah ketika disana saya merasa berada di suatu tempat yang tak tau ntah dimna? Tapi satu hal yg paling penting bahwa keputusan berada di tangan allah kita sebagai manusia hanya bisa berdoa dan memohon kehidupan kembali.. Tp setlah dikabulkan kita masih saja lupa dan lalai menjalankan kewajiban kpd sang pencipta..

    ReplyDelete