Social Icons

Friday, November 14, 2014

Apa yang Dipikirkan Pasien di ICU? (2)

Menjalani tes keringat untuk diagnosa Mielitis Transversa
di RSU Dr Soetomo Surabaya, Januari 2011.
Sebelumnya: Apa yang Dipikirkan Pasien di ICU? (1)

ICU memang ruangan yang penuh dinamika dan pasien harus siap dengan kondisi itu. Saya tidak mau larut dan terpengaruh, toh semua orang juga pasti mati. Kalau kematian saja saya siap untuk hadapi kenapa harus takut dengan keheningan, jeritan, tangis bahkan hantu terseram sekalipun.

Saya bersyukur karena dukungan teman-teman, keluarga hingga orang-orang yang belum saya kenal sangat besar untuk membeli obat GBS. Ditambah proteksi dari 2 jenis asuransi yang saya ikuti cukup meringankan biaya pengobatan sehingga persoalan biaya tidak terlampau membebani pikiranku.

Ketika melewati masa 4 hari kritis (sesuai teori), seolah "masa adaptasi" sudah usai. Sudah terbiasa dengan jeritan pasien dalam ruangan, keheningan yang "khas" hingga mobilisasi pasien yang sembuh ataupun meninggal. Sama sekali tidak ada penampakan yang aneh-aneh di sana, justru nantinya malaikatlah yang saya lihat (Baca: Ada Malaikat Penolong Datang ke ICU untuk Selamatkan Aku).

Sekarang saya hanya berfokus pada bagaimana bisa sembuh. Bagaimana menyampaikan dengan jelas apa yang saya rasakan ketika divisit dokter, bagaimana saya harus disiplin mengonsumsi obat dan menahan rasa sakit oleh suntikan. Untuk sementara singkirkan segala pikiran tentang pekerjaan, tugas dan tanggung jawab yang terbengkalai akibat sakit. "Semua pekerjaan dapat dilakukan asal sehat."

Dari situ saya belajar bahwa bagi seorang yang kritis, tidak ada sesuatu yang lebih penting untuk dipikirkan selain keinginan untuk sembuh. Keinginan itu meniadakan segala ketakutan yang ada. Dulunya saya pikir pasti tidak kuat bila harus dirawat di ICU namun kenyataannya tidak demikian.

Dan inipun menjadi pengalaman berharga dalam menghadapi tantangan-tantangan sulit ke depan, bahwa segala bentuk halangan pasti bisa saya atasi dengan niat yang sungguh-sungguh dan penyerahan diri yang utuh kepada Tuhan. Jika kita menaikkan doa kita akan sesuatu hal maka Tuhan akan bekerja lebih dari apa yang kita pinta. Saya berdoa sungguh-sungguh untuk diberi kesembuhan tetapi Tuhan bekerja menjauhkan segala ketakutan dan pikiran negatif dalam diri yang bisa memperburuk kondisi kesehatan saya.

Itu menyangkut ketakutan-ketakutan, lalu apa yang paling diharapkan selama di ICU?

Bukan makanan atau minuman, hal yang sangat saya harapkan adalah berjumpa dan bercerita dengan orang lain. Sebenarnya keinginan seperti itu lumrah bagi siapa saja yang sedang dirawat di rumah sakit, bukan cuma pasien ICU. Namun mungkin kondisi ICU-lah yang membuat keinginan untuk sharing atau sekedar ngobrol ngalur-ngidul terasa spesial.

Spesialnya adalah disaat-saat kritis seperti ini, ada banyak hal yang ingin disampaikan pada orang lain. Memang saya tidak bisa banyak berbicara dengan orang yang datang namun kehadiran orang selain perawat dan dokter memberi semangat tersendiri. Mengingat kondisi yang sangat kritis seperti ini, walaupun orang-orang yang sedang menemani tidak bisa berbuat apa-apa, setidaknya mereka menyaksikan saat dimana saya menghembuskan napas terakhir. Cukup tenang seandainya saya harus meninggal dan disaksikan orang lain, bukan hanya mendengar kabar dari paramedis.

Di satu sisi keinginan hati tersebut tidak bisa tersalurkan mengingat dalam ruangan ini tidak diperkenankan untuk dijaga keluarga atau orang lain. Setiap hari hanya tersedia waktu 1 jam di pagi, siang dan sore hari untuk dijenguk. Di luar jam itu tidak diperkenankan.

Alhasil waktu berkunjung yang singkat itu sangat dinanti-nantikan, namun lagi-lagi aturan membatasi: hanya 2 orang yang diperkenankan masuk. Jika banyak yang antri untuk menjenguk maka yang berksempatan lebih dahulu harus membatasi waktu ngobrol agar mereka yang belakangan juga berkesempatan sebelum habis waktu. Komunikasi dengan terburu-buru sangat tidak efektif. Apa yang hendak diperbincagkan tidak jelas. Belum lagi suaraku yang nyaris tak terdengar membuat lawan bicara harus berusaha menerjemhakan gerakan bibir saya. Ini artinya waktupun terbuang untuk memahami pesanku dengan baik.

Ekspresi yang diharapkan dari mereka yang datang menjenguk adalah ceria dan rileks sehingga bisa mengajak saya larut dalam obrolan. Ini perlu agar sesaat bisa mengalihkan perhatianku dari sakit yang sedang mendera. Tetapi kenyataannya bukan demikian, ada beragam ekspresi yang saya tangkap ketika mereka melihat kondisiku. Ada yang ceria, ada yang murung, ada yang terlihat sedang menahan tangis, ada yang tak kuasa menahan air mata. Kalau yang ceria pasti saya ikut tertawa tapi yang menangis justru saya harus sedikit menenangkan, "jangan menangis, saya tidak apa-apa." Hehehe...

Entah apa ekspresi mereka, saya selalu menguatkan diri dengan firman Tuhan, "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang."

Bukan saja terhibur, dalam jam berkunjung saya dikuatkan karena setiap mereka yang masuk pasti mengajak berdoa. Lewat doa yang dinaikkan, saya bisa merasakan bagaimana orang lain ikut terbeban akan penderitaan yang saya alami dan bagaimana tangan Tuhan bekerja bagi kesembuhanku melalui cara yang ajaib.

Mungkin masih banyak orang yang takut dengan ruangan ICU namun pengalamanku mengajarkan bahwa justru di sanalah saya menyaksikan banyak karya Tuhan secara langsung. Saya bisa merasakan bagaimana Tuhan menghalau semua ketakutan, bagaimana pertolongan Tuhan di saat kita lemah, bagaimana hidup dinaungi kuasaNya, bagaimana kebesaran Tuhan, bagaimana cara Dia bekerja melalui orang lain, bagaimana Dia mengangkat seseorang dari jurang maut, dan lainnya.

Jika kita menganggap ICU hanya sebagai tempat perawatan semata maka kita akan ketakutan tapi sebaliknya kalau menganggap di sana sebagai tempat Tuhan bekerja maka kita akan mendapatkan pemulihan dan kekuatan baru untuk menghadapi penyakit yang diderita.*


"Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita" (Efesus 3:20).

6 comments:

  1. Makasih bermanfaat sekali artikelnya semoga makin sukses.

    ReplyDelete
  2. salam kenal kak, baca postingan ini, jd inget banget dulu ketika berada di ruang I.C.U sebelum operasi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal jg mbak Retna. Wah, sama kita ya, "alumnus ICU." Hahaha...

      Delete
  3. td saya sempat email jg kak, saya suka sekali baca2 tulisannya di blog, kebetulan saya sendiri juga suka nulis di blog.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kemarin habis balas sy sempat mampr ke blognya, cuma terburu2 jd gak sempat ninggalin jejak. Ntar ada waktu luang sy pasti main2 ke sana. Keren tulisan2nya mbak. ;)

      Delete