Social Icons

Monday, April 22, 2013

Impianku Meraih Ilmu di Luar Negeri Kandas di ICU

Sejak menamatkan studi S1 di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang-NTT tahun 2005, ada keinginan kuat dalam hatiku melanjutkan studi di luar negeri. Namun mengingat kemampuan keuangan orang tua di desa yang sangat minim maka sambil kerja saya coba mencari beasiswa dan terus mengasah kemampuan diri. Setiap ada informasi tentang beasiswa apa saja segera saya melamar. Menggunakan prinsip yang dinasihatkan seorang kakak, "tembak 10 pasti dapat 1." Tak ketinggalan mempelajari dan menerapkan trik-trik untuk bisa mendapatkan beasiswa luar negeri.

Setelah berulang kali usahaku kandas di tahap awal seleksi, tahun 2010 saya berhasil mencapai level yang cukup tinggi seleksi sebuah beasiswa. Saat itu saya berhasil masuk ke tahap wawancara beasiswa International Fellowships Program (IFP) - Ford Foundation yang dikelola oleh The Indonesian International Education Foundation (IIEF). Belanda adalah negara tujuanku, Manajemen Sumber Daya Air adalah jurusan studi pilihanku.

Sampai ke level ini termasuk pencapaian yang bagus karena selama ini saya selalu kandas di level awal terutama tes bahasa Inggris. Saya cukup percaya diri karena saya merasa wawancara tidak se-'menyeramkan' tes bahasa Inggris. Dari 8 ribuan pelamar kini tertinggal 150 kandidat, ini menjadi motivasi tersendiri. 150 orang itu bersaing merebut 50 kursi yang disediakan artinya peluang 1:3, kesempatan terbuka lebar.

Pengumuman sudah dirilis sejak pertengahan April 2010, peserta dari NTT kebagian jadwal wawancara tanggal 29-30 Mei 2010. Saya sendiri mendapat jadwal 30 Mei. Mulai mempelajari trik-trik wawancara beasiswa juga bertanya pada teman-teman yang pernah mendapat beasiswa luar negeri. Saya terus mematangkan persiapan memanfaatkan jeda waktu sebulan lebih.

Seperti kata pepatah, "untung tak dapat diraih, malang tak dapat dielakkan," satu bulan sebelum wawancara tepatnya 29 April 2010 saya diserang penyakit Myelitis Transversa, penyakit ganas yang membawaku menjadi penyandang disabilitas hingga kini. Penyakit yang nantinya memaksaku harus melewati masa kritis selama 2 bulan di ICU. Saya berdoa agar kiranya saya sudah pulih ketika tanggal wawancara itu tiba.

Namun apa daya, sampai dengan tanggal 29 Mei (sehari sebelum wawancara) saya masih berbaring kritis di ICU. Saya berpikir ini adalah kesempatan besar yang tidak boleh disia-siakan. Peluangku memang sangat kecil untuk bisa lulus tapi setidaknya ada pengalaman yang bisa dipetik.

Ada dua hal yang bisa dicapai bila mengikuti wawancara ini yaitu pertama, walaupun tidak lulus setidaknya saya punya gambaran pertanyaan-pertanyaan wawancara beasiswa sebagai bekal untuk melamar beasiswa lain. Kedua, ke depan saya masih ingin mencari beasiswa, sementara IIEF adalah sebuah lembaga yang mengurus banyak beasiswa ke luar negeri, dengan demikian saya sudah punya "cerita" ke pihak IIEF (jika saya melamar beasiswa lain) bahwa sayalah orang yang pernah diwawancarai di ICU RSUD WZ Yohannes Kupang, sebuah kredit poin tentunya.

Tantangan datang dari pihak keluarga ketika saya menyampaikan keinginan untuk diwawancara. Mereka khawatir keadaanku bisa menjadi buruk bila memaksakan diri menjawab pertanyaan yang pastinya "berat." Namun saya meyakinkan mereka bahwa saya akan menjawab semampu saya saja, tidak terlalu berharap untuk lulus tapi pengalamannya yang diambil, lulus tentunya lebih baik. Akhirnya mereka setuju untuk saya diwawancara.

Ada sebuah formulir berbahasa Inggris yang harus diisi dan diserahkan saat wawancara. Karena tidak bisa duduk dan juga tidak bisa menulis akibat tangan sangat lemah untuk digerakkan maka saya harus meminta bantuan seorang teman untuk menuliskannya, jawabannya saya ucapkan.

Seharusnya waktu itu saya diwawancara di Hotel Pantai Timor Kupang namun mengingat kondisiku yang kritis dan tidak bisa melepas O2, infus dan lainnya maka dengan perantaraan alumni IFP Kupang, para pewawancara diminta untuk mewawancarai di ICU saja. Mereka setuju.

Hari Minggu (30/5/2010) sekitar pukul 16.00 Wita, 4 orang pewawancara dari IIEF datang menghampiri ranjang tempatku dirawat. Mereka lantas memperkenalkan diri. Wajah mreka tidak begitu saya kenal karena memang saat itu penglihatanku kabur, bisa melihat jelas hanya pada jarak kurang dari 1 meter. Mereka terdiri dari 1 orang bapak dan 3 orang ibu.

Dari perkenalan itulah saya tahu kalau hanya 2 orang utusan dari IIEF Jakarta sedangkan 2 orang lainnya adalah akademisi lokal yang cukup dikenal di NTT. Kedua orang akademisi NTT itu satunya mantan Direktris Politeknik Pertanian Negeri Kupang sedangkan satunya lagi mantan Rektor STFK Ladalero Flores.

Mungkin melihat kondisiku yang kritis dan hampir sekujur tubuh tertancap kabel dan selang (infus, O2, alat rekam jantung, paru-paru hingga tensimeter) maka yang dibicarakan hanya seputar jenis penyakit dan kondisi kesehatanku saat itu. Tidak banyak pertanyaan tentang materi beasiswa, mereka berdalih akan mempelajari saja aplikasi yang telah saya kirim dan menggali informasi dari orang lain yang mengenal saya. Setelah memberiku dorongan semangat dan doa, merekapun meninggalkan ruangan itu.

Sehabis wawancara banyak pertanyaan diajukan saudara-saudara dan teman-temanku, "Kenapa kamu mau diwawancarai padahal kondisimu sangat kritis?" Saya menjawab bahwa kondisi kritis bukan berarti sudah mati. Berharaplah bahwa ada hari esok buatmu, kematian itu rahasia Tuhan sehingga tidak perlu kita membebani diri dengan hal itu dan bertindak seolah kita sudah mati. Toh, orang sehatpun bisa mati detik ini.

Dua bulan kemudian pengumuman hasil wawancara sekaligus sebagai pengumuman penerima beasiswa IFP tahun 2010. Seperti dugaan, disitu tidak tercantum nama saya. Namun ini tidak menjadi sebuah beban karena saya sudah siap untuk tidak lulus, asalkan pengalamannya sudah saya dapat. Ini adalah hasil yang sangat adil dari Tuhan. Seandainya lulus pun pasti saya mengundurkan diri karena ketika pengumuman itu keluar saya masih terbaring sakit di ruang perawatan rumah sakit. Mungkin ini bukan bagianku, ada hal lain yang Tuhan sediakan khusus untukku.

Kini 3 tahun berlalu. Efek dari penyakit Myelitis Transversa itu, saya menjadi lumpuh dari kaki hingga dada. Sejenak saya mengenyampingkan impianku dulu untuk pergi meraih ilmu setinggi mungkin di seberang sana.

Walaupun demikian keadaan ini tidak serta merta mengubur niatku untuk ke luar negeri. Saya tetap punya impian pergi ke Eropa, Amerika dan lainnya suatu saat nanti sekalipun dengan kursi roda. Mungkin saya akan kesana tidak sebagai pelajar penerima beasiswa tapi boleh jadi demi alasan lain yang belum saya temukan saat ini.

6 comments:

  1. Setuju teman...banyak cara meraih impian..bahkan dgn tujuan study pun ada untuk kaum marginal (penderita cacat), IFP contohnya yang memfasilitasi kaum marginal (banyak temanku2 seperti Pieter) yang meraih kesempatan itu...bahkan semua fasilitas untuk kenyamana belajar disediakan...kembangkan jaringan..waktunya semakin dekat...(MM)

    ReplyDelete
  2. kisah yg sangat menginspiratif...
    salut bwt semangatx ka...
    tetap berjuang ka...:-)

    ReplyDelete
  3. Salut dgn semangaaatttmu dek, impian tuk ke LN pst kau dpt...yakinlah itu dan trs berkarya dlm kondisi apapun.

    ReplyDelete