Social Icons

Wednesday, May 29, 2013

Hal-hal Ini Awalnya Tak Sanggup Kuhadapi Sebagai Penderita Mielitis Transversa

Setiap orang pasti mempunyai hal-hal ideal yang diharapkan mewarnai perjalanan hidupnya. Ketika jalan hidup tak semulus yang diidamkan, bahkan mungkin terbalik 180 derajat, otomatis akan timbul gejolak dalam hati untuk menolaknya. Kita akan berusaha semaksimal mungkin agar hal-hal ideal menurut kitalah yang sebaiknya terjadi. Namun sebagai manusia terbatas, upaya itu sering mengalami jalan buntu dan akhirnya sadar bahwa berserah pada kehendakNya itulah jalan terbaik.

Selama tiga tahun menderita Mielitis Transversa, banyak hal yang dulunya tidak pernah aku harapkan justru menjadi kenyataan. Karenanya terjadi penolakan dalam diri sehingga proses dan waktu Tuhan-lah yang menjawab semua kegundahan hati dan menuntunku untuk siap menerima itu. Berikut kutuliskan tiga hal yang awalnya tidak kuterima namun pada akhirnya aku siap menghadapinya.

Pertama, menggunakan kursi roda. Dulu, yang ada dalam benakku pengguna kursi roda adalah orang yang sedang  sakit berat dan cacat serius sehingga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena itu ketika sekitar 3 bulan di Rumah Sakit dan dokter menganjurkan aku membeli kursi roda rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Aku tidak sanggup membayangkan harus melalui hari-hari dengan menggunakan kursi roda dan betapa akan terbatasnya diriku. Anjuran dokter agar aku membeli kursi roda pun aku artikan lebih bahwa ini sebagai isyarat dokter sudah angkat tangan menangani penyakitku dan mungkin hidupku tidak lama lagi menurut pandangan medis. Padahal dokter sudah menjelaskan bahwa selain untuk mobilisasi, kursi roda pun bisa menjadi alat terapi yang baik bagi kuatnya tulang belakang bila sering duduk.

Setelah beberapa bulan aku hanya bisa berbaring dan tidak bisa duduk bebas (tanpa penyanggah) barulah aku mulai menyadari pentingnya kursi roda. Awal meminta dibelikan kursi roda rasanya berat sekali. Sepertinya tidak ingin melihat benda "asing" itu. Ketika sudah ada kursi roda pun aku memandangnya dengan perasaan yang berbeda. Perasaanku ketika duduk di kursi roda tak ubahnya sedang menumpang ambulance menuju Rumah Sakit.

Sejalan dengan berlalunya waktu dan aku sering duduk di kursi roda barulah aku benar-benar menyadari bahwa kursi roda bukan saja bagi orang yang sedang sakit tapi juga sebagai alat bantu yang penting bagi mereka yang tidak diberi karunia organ tubuh yang sempurna. Bagi mereka kursi roda sebagai pengganti kaki sehingga tidak tepat memandang kursi roda identik dengan orang yang tidak ada harapan. Memang sering dipakai sebagai alat bantu pasien tapi pada orang tertentu kursi roda sudah menjadi bagian tubuh dalam menjalani aktifitas normal. Kursi roda tidak lagi aku takuti tapi sudah menjadi teman yang baik.

Kedua, menyebut kata "lumpuh". Sejak pertama masuk Rumah Sakit (April 2010) sebenarnya aku langsung lumpuh, tapi kenyataan itu tidak serta-merta membuatku menjadi mudah mengucapkan kata lumpuh. Bahkan sampai dengan 2 tahun sakit aku tak sanggup mengucap kata itu. Aku lebih suka menyebutnya dengan "kaki mati rasa" atau "kaki tidak bisa digerakkan" dari pada menyebut diri lumpuh, padahal sama maksudnya. Ketika menyebut kata lumpuh aku merasakan kesedihan yang luar biasa, tak sanggup aku berkata-kata lagi bila sudah lebih dahulu menyebut kata lumpuh. Sebaiknya menghindari kata itu atau kalau terpaksa, aku akan menyebutnya dengan berlinang air mata.

Entah kenapa hanya kata lumpuh yang "tabu" diucapkan sementara menyebutnya dengan "kaki mati rasa" atau "kaki tidak bisa digerakkan" tidak membuatku sedih? Aku tak tahu, semua itu terjadi diluar kendaliku. Mungkin dalam pikiran sudah ada semacam anggapan bahwa lumpuhnya tubuhku itu abstrak bukan kenyataan yang harus kujalani. Ketidaksanggupan menyebut kata itu mungkin juga sebagai bentuk keyakinan diri bahwa aku pasti sembuh atau mungkin karena aku belum siap menerima kenyataan.

Butuh waktu setidaknya 2 tahun proses untuk tegar menyebut dan menulis menggunakan kata lumpuh. Walaupun hingga saat ini dalam hati masih ada keyakinan untuk bisa berjalan lagi namun tidak bisa disangkal bahwa kenyataan aku sedang lumpuh. Ketika sudah bisa menyebut kata lumpuh aku justru lebih mampu melihat berbagai hal yang bisa dibuat seseorang dalam kondisi lumpuh.

Ketiga, keterkungkungan. Sebelum diserang Mielitis Transversa, waktu 24 jam sehari seolah tak cukup bagiku untuk melakukan aktifitas-aktifitas harianku. Aktifitas yang padat dan terjadwal untuk pekerjaan, keluarga, gereja/pelayanan dan aktifitas-aktifitas sosial membuatku tidak punya waktu luang untuk berleha-leha. Karena itu ketika menderita sakit yang menuntut untuk sepenuhnya beristirahat dan nihil aktifitas maka saya benar-benar mengalami tekanan psikologis yang sangat kuat. Tak jarang aku harus mengusir beban itu dengan "beraktifitas dalam hati." Iya, aku harus mengusir keterkungkungan itu dengan berpikir aku sedang melakukan sesuatu. Contohnya, walaupun dalam kondisi tubuh yang sakit aku berpikir sedang mendesain dan membangun sebuah gedung yang unik, maklum orang teknik. Itu kulakukan sekedar untuk mengalihkan perhatian dari kenyataan bahwa semua aktiftasku yang dulu telah hilang dan kini aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur.

Seiring berjalannya waktu, dengan aktifitas harian dan keadaan fisik yang baru barulah secara perlahan aku bisa menyesuaikan diri dengan rasa jenuh, kesepian dan hal-hal lain yang sering membebani akibat kehilangan kebebasan. Aku menyadari betapa terbatasnya manusia di hadapan Allah. Apa yang menjadi kebanggaan kita bisa sirna dalam sekejap bila Allah tidak menghendaki itu.

Pengalaman-pengalaman ini mengajari bahwa bila diperhadapkan pada cobaan hidup yang berat jangan sekali-kali menganggap sesuatu sudah berakhir. Ini hanya menyangkut kesiapan kita. Saat kita belum siap untuk menghadapinya mungkin karena hal itu tidak sesuai dengan harapan kita. Cermatilah prosesnya dan melangkahlah di jalan Tuhan, dengan bergantinya waktu kita akan menemukan rahasia-rahasia Tuhan dibalik setiap kejadian itu. Sesuatu itu terasa mustahil hanya bagi manusia tetapi tidak bagi Tuhan. Dengan berserah pada Tuhan kita akan peka terhadap rencanaNya dan kuat menghadapi cobaan-cobaan hidup yang berat.
***

"Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya.
TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.
Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu;" (Mazmur 34:18-20).

No comments:

Post a Comment