Menyebut nama ICU pasti yang terbayang adalah tempat yang "menyeramkan," tempat yang dihuni oleh mereka-mereka yang dalam kondisi kritis, antara hidup dan mati. Di sekujur tubuh mereka pasti tertancap berbagai jenis selang dan kabel, ada selang infus, selang NGT, O2, tensimeter, alat pengukur kinerja jantung dan lainnya. Bagi saya menjadi pasien di ICU tak ubahnya robot yang nyaris kehabisan daya baterai. Hehehe. Maaf kalau kasar kedengarannya.
Dari sepanjang waktu di ICU, waktu berkunjung merupakan waktu yang sangat dinanti-nanti pasien karena bisa melihat orang selain dokter dan perawat. Namun jam berkunjung yang sangat sempit (3 x 1 jam) membuat kesempatan untuk bercerita dengan orang lain sangat jarang. Padahal hati ini ingin agar selalu ada orang menemani menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Ingin ditemani bukan saja menyangkut keadaan pribadi tapi juga tentang "gangguan lingkungan." Gangguan dimaksud misalnya sebentar-sebentar terdengar kata "bungkus" disertai tangisan iba
orang-orang yang bisa membawa kita pada kemungkinan kuatir, takut, sedih, pasrah atau bisa jadi tegar dan kuat.
Saya punya pengalaman sebagai pasien ICU RSUD WZ Yohannes-Kupang selama 2 bulan di tahun 2010 ketika berjuang melawan Myelitis Transversa yang saat itu masih didiagnosa sebagai Guillain-Barre Syndrome (GBS). Waktu yang tidak sebentar. Namun tulisan ini bukan tentang sesuatu yang "menyeramkan" tapi tentang cinta yang ada disana. Hehehe.
Langsung saja ya, begini ceritanya....
Suatu sore menjelang malam ketika sudah tiba jam makan, saya menunggu untuk disuapin saudara yang jaga tapi setelah lewat jamnya tidak ada yang datang untuk suapin. Saya tidak tahu kenapa sehingga hari ini tidak ada yang datang, mungkin semua lagi sibuk. Saya bersabar saja karena setelah jam makan akan disusul jam kunjung jadi sebentar kalau ada orang yang jenguk bisa minta disuapin sekalian. Biasanya pasti ada yang jenguk bahkan tak jarang harus terjadi antrian di luar menunggu kesempatan menjengukku yang waktunya cuma tersedia 1 jam.
Hingga hampir 1/2 jam waktu berkunjung tidak ada orang yang jenguk. Ah, ada apa ini kok semua orang tidak datang? Saya sudah lapar. Saya terpaksa meminta pada suster yang bertugas, "Suster, boleh saya disuapin? Hari ini tidak ada yang menjengukku." Si suster menjawab, "Tunggu sebentar ya." Dia lalu pergi keluar ruangan. Sesaat kemudian pulang membawa masuk seorang temanku, Arnold.
Rupanya sore itu dia satu-satunya orang yang menjengukku dan ternyata telah terjadi miskomunikasi diantara 2 orang saudara (adik dan kakakku) yang saat itu bergiliran menjaga. Adikku pergi mandi dengan harapan kakakku yang akan menyuapi sementara kakakku juga pergi mandi di tempat lain dan berharap adikkulah yang akan menyuapi. Jadinya kehadiran Arnold sore itu sangatlah berarti. Hehehe.
Sebenarnya sebelum saya meminta tolong pada suster, Arnold baru saja masuk menjengukku, tapi karena melihat mataku yang tertutup dia mengira saya sedang tidur sehingga ia memutuskan untuk keluar. Padahal saya menutup mata bukan karena tidur tapi karena memang kondisi saat itu untuk membuka mata saja rasanya tak sanggup apa lagi untuk bangun, duduk dan makan. Saya hanya mengandalkan pendengaran untuk mengetahui ada tidaknya orang yang berkunjung dan siapa dia.
Nah karena Arnold satu-satunya pengunjung sore itu ditambah dengan harus menyuapi saya maka kesempatan yang cukup panjang itu benar-benar kami manfaatkan untuk sharing. Dari sharing yang ringan-ringan sampai "sharing tingkat tinggi (STT)." Hehehe... Di sini saya hanya bercerita tentang STT itu.. Hehehe...
Walaupun saat itu saya kurang nyaman dengan cara dia menyuapi (hehehe, sorry bro saya jujur), namun sharingnya membuatku tidak terlalu menghiraukan itu, bahkan rasa sakit pun seolah sirna sejenak. Hehehe. Bagaimana tidak, malam itu ia banyak bercerita tentang dambaan hati yang telah ia temukan. Thema sharing yang nyaris tidak terdengar dari Arnold, dalam KTB sekalipun. Saya antusias mendengar bukan saja karena ini cerita baru tapi juga "tokoh"-nya belum saya kenal. Arnold bercerita siapa orangnya, bagaimana ia mengenalnya hingga telah tumbuhnya benih-benih cinta dalam hati saat itu. Saya hanya menyimak dari suaranya sementara raut mukanya tidak saya tahu karena sambil menutup mata. Dari situ terdengar jelas kalau dia sedang jatuh cinta. Hehehe...
Memang yang namanya cinta itu selalu unik. Tak disangka ternyata suster piket tadi menyetel channel TV Bali, rupanya si Suster dari Bali. Jadilah suster itu bisa diajak untuk bertiga kami cerita karena "tokoh" pembicaraan kami sejak tadi orang Bali juga. Suasana makin seru setelah tahu kalau suster itu orang Jawa yang orang tuanya ada di Bali, sama persis. Obrolan kami bertiga saat itu benar-benar ramai namun volume suara tetap dijaga sehingga tidak sampai mengganggu "tetangga." Jam berkunjung yang hangat dan ceria walaupun hanya dikunjungi satu orang. Hehehe.
Cerita itu berlanjut hingga Surabaya ketika saya menjalani setahun program IVIG di sana. Saya mendapat kabar kalau Arnold akan ke Surabaya dan kami akan bercerita lagi tapi kali ini akan bersama-sama dengan si dia yang selama ini hanya kukenal namanya. Bukan itu saja, ternyata saat itu mereka sekaligus melakukan konseling pernikahan dengan konselor Kak Iis Achsa. Akhirnya saya bisa bertemu dengan "tokoh" yang hanya saya dengar namanya selama ini. Sang "tokoh" bernama Eta. Hehehe.
Beberapa bulan kemudian saya mendapat kiriman undangan pernikahan. Saya yakin mereka tahu bahwa saya pasti tidak bisa hadir tapi mereka tetap memberiku undangan karena menghargai saya sebagai sahabat. Walaupun saya tidak menghadiri pernikahan mereka namun doa tulus tetap kuberikan agar rumah tangga baru mereka selalu diberkati Tuhan, menjadi keluarga Kristen yang taat dan menjadi teladan bagi semua orang.
-----
Terkadang ada hal yang menurut kita bukanlah sesuatu yang berarti tapi bagi orang lain justeru sangatlah berarti.
Terkadang kita merasa sesuatu terjadi hanya kebetulan namun bisa jadi dibalik itu Tuhan sedang mengutus kita sebagai malaikat bagi seseorang.
Terkadang ada kejadian yang sepertinya hanya lelucon belaka namun disaat itu Tuhan sedang mengerjakan sebuah karya besar bagi kita.
Terkadang juga sebuah kejadian sepertinya tiada arti namun mungkin saat itu Tuhan sedang memakainya untuk merangkai sebuah cerita indah bersama orang lain.
Sekecil apapun pekerjaan yang kita buat dengan penuh kasih bagi sesama, Tuhan bekerja didalamnya...
Tulisan yang sangat menyentuh dan benar adanya, khususnya alinea terakhir itu dik. Saya sharing alinea itu di FB saya ya...thanks Pither.
ReplyDeleteMakasih om Rihi, silahkan dibagikan...
Delete