Social Icons

Thursday, August 10, 2017

Kéa dan Lubang Tambang Raksasa di Pantai Kolbano, Timor

Pantai Kolbano | Dok. Pribadi
Saya besar dari keluarga yang akrab dengan pantai. Bapa Besar saya namanya Bapa Min, punya satu kemampuan yang tidak dimiliki kebanyakan warga di pesisir Kolbano yakni mengenali perilaku penyu alias Kéa dalam Bahasa Kupang (Bahasa Timor : ) yang sering memilih Pantai Kolbano sebagai tempat berkembang biak.

Bapa Min cukup hafal kapan musim bertelur dan kapan waktu terbaik seekor kéa betina datang menitipkan telur-telurnya di dalam pasir untuk dierami.

"Kéa membutuhkan suasana pantai yang tenang dan aman untuk bisa bertelur," cerita Bapak Min suatu ketika. Beliau biasa berkisah dengan lugas tentang proses kéa bertelur kepada kami yang masih bocah.

Pada tengah malam bulan gelap di musim bertelur, seekor kéa bunting akan datang, masuk ke semak-semak di sekitar pantai lalu menggali lubang sedalam 0,5-1 m dan lebar seukuran tubuhnya, menggunakan keempat tungkai tanpa menimbulkan suara berisik berlebih. Sepanjang Pantai Kolbano memang ditumbuhi sejenis perdu yang kami kenal dengan nama tasi'. Tasi' tumbuh lebat di atas pasir yang melebar hingga puluhan meter dari jangkauan ombak.

Pantai Kolbano | Dok. Pribadi
Kelar menggali lubang, saatnya sang kéa mulai bertelur. Pada ritual ini, kéa tidak dapat berbuat apa-apa selain menelurkan puluhan hingga ratusan butir telur berwarna putih, seukuran bola ping pong dan bercangkang lunak. Dia hanya pasrah. Tidak akan melawan atau berusaha melarikan diri hingga salah satu proses penting regenerasi kéa itu berakhir.

Usai bertelur, secara naluriah sang induk akan menimbun telur-telurnya dengan pasir galian tadi dan merapikannya kembali sehingga manusia maupun predator lain tidak menyadari kalau di situ terkubur telur-telur kéa. Penyu hijau betina itu pun kembali ke habitatnya sebelum fajar menyingsing.

Lewat 8-10 minggu, di malam yang sudah diperhitungkan bahwa telur-telur telah menetas, dengan instingnya sang induk akan kembali ke pantai tempat telur-telur tadi disimpan dan berenang di deburan ombak sambil mengeluarkan suara khas sebagai isyarat panggilan kepada tukik-tukik (Timor: ké ana'). Tukik-tukik yang telah melepaskan diri dari cangkang di dalam pasir segera bergerak hanya satu arah yakni menuju deburan ombak di mana sang induk menunggu.

Pantai Kolbano | Dok. Pribadi
"Itulah kenapa ada istilah 'lonen on ké' (otaknya seperti kéa) sebagai kiasan untuk menyebut orang yang tidak bisa berpikir, karena gerombolan bayi kéa itu hanya bergerak 1 arah saja. Kalau diberi penghalang seperti sepotong kayu pada jalur yang akan dilalui maka bayi-bayi kéa itu akan terus berupaya menembus rintangan itu secara lurus, tidak terbesit ide berbelok mencari celah lain untuk lolos," ungkap Bapa Besar (Jawa: bapak gede, pakde) berusia 50-an ini sambil terkekeh.

Berhasil masuk ke lautan berarti hidup baru dimulai, resiko di darat telah berakhir.

"Banyak kéa yang bertelur di pantai tiap tahun ko bapa?" tanya kami. Pantai dimaksud adalah yang berada dalam radius sekitar 2 Km ke timur dan barat tempat kami sering bermain air laut dan nelayan-nelayan tradisional melabuhkan sampannya.

"Semusim beta perkirakan sekitar 3-4 ekor yang bertelur di sini tapi yang tepergok mungkin 1, paling banyak 2. Sering sonde ada sama sekali yang dipergoki," terang Bapa Min.

Salah satu reptil laut ini memang tidak mudah dideteksi keberadaannya kalau lagi bertelur. Sulit juga memergoki kéa dari jejaknya di atas pasir karena gradasi pasir di Pantai Kolbano kasar hingga berukuran koral sehingga jejak kéa yang bertelapak lebar itu tidak mudah tertinggal.

***

Pantai Kolbano | Dok. Pribadi
Kisah di atas hanyalah satu dari sekian nostalgia indah tentang Pantai Kolbano yang sudah perlahan sirna sejak 20-an tahun terakhir. Sebuah cerita tinggal kenangan semenjak Pemda Kab. Timor Tengah Selatan (TTS) membuka kran penambangan batu warna dan pasir tiada duanya ini awal dekade 90-an. Sejak saat itu wilayah pantai hingga 100 m ke darat ditetapkan sebagai milik pemerintah yang kemudian dikavlingkan kepada pengusaha-pengusaha untuk menambang batu warna-warni antara lain putih, merah, kelabu, pink, coklat, dll. Saban hari puluhan hingga ratusan ton batu warna yang dikemas dalam karung berukuran 50 Kg diangkut pergi.

Pantai yang dulunya indah, rapi, tenang dan eksotis diobrak-abrik demi memenuhi kebutuhan tinggi batu warna di luar sana untuk hiasan taman, dinding, pedestrian, aquarium dll. Semak-semak tumbuhan tasi' dibabat habis. Bukan hanya radius 1 Km, tapi hingga 30-40 Km dari barat ke timur pesisir Kolbano. Kéa-kea dulu entah bermigrasi kemana untuk melanjutkan regenerasi.

[Baca juga: Mungkin Tuhan Mulai Bosan atau Alam Sudah Enggan?]

Kini yang tertinggal hanyalah remah-remah batu warna dan sebuah lubang raksasa tak kasat mata. Untuk bisa "melihat" lubang abstrak dimaksud, coba simak hitungan kasar ini:

Pantai Kolbano | Dok. Pribadi
Selama 25 tahun rata-rata setiap hari ada 10 truk fuso berkapasitas 15 m3 yang membawa keluar koral dan pasir warna dari Pantai Kolbano dan sekitarnya (ini angka yang cukup minimum). Maka total batu warna yang sudah diangkut keluar adalah:

25 tahun x 365 hr x 10 fuso x 15 m3 = 1.368.750 m3.

Kalau volume 1,3 juta m3 itu dikonversi menjadi lubang dengan kedalaman 4 m dan lebar 10 m maka panjang lubangnya adalah:

1.368.750/(4x10) = 34.219 m alias 34,20 Km.

Bayangkan! Dimensi lubang yang sudah terbentuk di sepanjang Pantai Kolbano adalah 4 m x 10 m x 34,20 Km. Lubang itu masih terus diperluas ke arah timur maupun barat tergantug sampai level kehancuran seperti apa yang diinginkan pengambil kebijakan sebelum akhirnya menyadari telah terjadi kerusakan parah lingkugan. Dan mirisnya lagi, yang diambil dari lubang itu adalah batu dan pasir warna kelas 1, mutu internasional!

***

Pantai Kolbano | Dok. Pribadi
Alasan utama Pemda mengijinkan penambangan batu warna ini adalah mendongkrak PAD dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat yang menggantungkan hidupnya di sana. Untuk ini, mari kita hitung-hitungan sederhana.

BPS Kabupaten TTS mencatat batu warna yang terangkut dari Pantai Selatan TTS selama tahun 2008 adalah 47.353 ton atau sekitar 26.307 m3. Ini artinya dalam sehari hasil tambang berkualitas internasional ini hanya tercatat resmi sekitar 5 buah truk setara fuso berkapasitas 15 m3. Volume itu sama dengan lubang berdimensi 3m x 3m x 3Km.

Benarkah ini? Karena fakta di lapangan bertolak belakang. Pada tahun-tahun itu aktifitas eksploitasi batu warna sedang berada pada puncakanya, dimana secara kasat mata bisa diperkirakan lebih dari 10 kendaraan fuso per hari, belum ditambah truk-truk kayu dan dump truck (+/- 3-5 m3). Tidak berlebihan menyebut sehari paling tidak 15 truk fuso telah membawa pergi batu warna yang indah khas Pantai Selatan TTS.

Mana mungkin waktu itu legal dan sedang di puncak eksploitasi tapi disebut cuma 5 fuso? Masuk hitungankah kalau hanya 5 kendaraan setara fuso yang mengangkut batu warna dari lahan tambang yang membentang lebih dari 30 Km dengan > 10 pengusaha dan ribuan masyarakat pengrajin?

Pantai Kolbano | Dok. Pribadi
Itu data resmi dari Distamben dan tentu hanya itu yang ditarik retribusinya. Volume yang tercatat cuma sekitar 1/3-nya, sedangkan 2/3-nya bocor. [Sekedar pembanding, ketika Bupati TTS sudah menutup sementara aktifitas tambang beberapa waktu lalu saja, terjaring 6 truk illegal hanya dalam sehari. Baca: Illegal, Puluhan Ton Batu Berwarna Asal Pantai di TTS Disita Pol PP].

Sudah remah-remah batu warna yang ditinggal, eh... retribusi yang didapat pun cuma remah-remah.

Lalu apa yang didapat masyarakat?

Tahun 2005, saya mendapati pasir Kolbano dijual Rp. 10 ribu/ons untuk hiasan aquarium di sebuah pusat perbelanjaan di Bandung. Sementara saat itu di Pantai Kolbano dihargai Rp. 8 ribu/karung. Dengan kata lain, pasir warna seharga Rp. 8 ribu (@50 kg) di Kolbano itu dihargai di Bandung dengan harga Rp. 5 juta. Pengrajin Kolbano hanya mendapat 0,16 % sedangkan keuntungan pengusaha dalam rantai bisnis pasir warna Kolbano-Bandung ini mencapai Rp. 4.992.000 alias 62.400 %. Setelah 12 tahun berlalu, entah berapa harganya di sana sekarang, sementara di Kolbano belum beranjak.

Di Surabaya (2011) salah 1 varian batu warna Kolbano dijual eceran untuk hiasan taman dengan harga Rp. 20 ribu/5 kg sementara di Kolbano per karung dihargai Rp. 4 ribu. Artinya pengrajin yang sehari-hari berjemur ria mengumpulkan batu warna dari jam 6 pagi - jam 6 sore hanya kebagian 2 % sedangkan pengusaha dalam rantai pendek ini mendapat keuntungan Rp. 196 ribu (4.900 %). Koral Kolbano juga ditawarkan secara online dengan kisaran harga Rp. 45 ribu/15 kg (margin harga +/- 3.000 % alias di Jawa Rp. 3.000/kg sedangkan di Kolbano Rp. 100/kg).

Miris!!!

[Baca juga: Pantai Kolbano, (Bekas) Pantai Indah nan Unik]

***

Pantai Kolbano | Dok. Pribadi
Masihkah kita tutup mata melihat tambang telah merenggut karunia pantai yang amat indah ini? Sampai kapan lubang itu terus kita perbesar? Layakkah kita mengklaim rakyat sudah disejahterakan dengan kehadiran tambang selama ini? Sebandingkah retribusi yang didapat dengan kerusakan alam yang sudah terjadi?

Silahkan anda renungkan sendiri. Saya hanya memberi gambaran tentang keprihatinan saya. Keprihatinan akan Pantai Kolbano dan sekitarnya yang sudah dijarah dan diobrak-abrik isinya.

Sambil mengenang kéa yang walaupun selalu berstigma tak memiliki otak tapi tidak merusak pantai, meninggalkan lubang menganga bahkan tidak membawa pergi 1 butir pasir pun dari 30-40 km garis pantai selatan TTS.*

*) Ditayangkan juga di akun Kompasiana (2/8/2017).

No comments:

Post a Comment