Ini cerita 9 tahun lalu ketika masih menjadi mahasiswa dan selalu kuingat setiap awal Desember.
Sejak bergabung dengan pelayanan Perkantas tahun 2001, Persekutuan Besar PMK Kota setiap hari Sabtu sore biasanya dilaksankan di konsistory Gereja Kota Kupang. Tempat ini sangat strategis dari segi transportasi. Mudah dijangkau angkot dari segala penjuru Kota Kupang sehingga tidak begitu masalah bagi anggota PMK untuk datang ke persekutuan. Walaupun demikian, kehadiran anggota terbilang sedikit, hanya berkisar 15-20 orang setiap minggu.
Di akhir November 2003, PMK Kota melaksanakan Raker sekaligus regenerasi di rumah kebun keluarga Pelokilla di Naioni. Didampingi 2 orang TPPM, Kak Ben dan Kak Sherlly. Dalam Raker itu saya dipercaya menjadi ketua PMK Kota untuk periode 2003-2005. BP terdiri dari 10 orang yaitu Saya, Adi, Oy, Ruben, Henok (alm), Harce, Nelci, Rosa, Betty dan Yunny. Suatu tugas dan tanggung jawab pelayanan yang lebih berat harus kuemban dibanding periode sebelumnya yang hanya menjadi koordinator seksi.
Persekutuan Besar Sabtu, 5 Desember 2003 adalah hari pertama saya menjadi seorang Ketua. Berdoa dalam hati untuk diberi hikmat, keberanian dan kemampuan dalam memimpin PMK Kota.
Kami kaget sekali ketika sudah berkumpul di Gereja Kota Kupang, Pendeta memberitahu kalau gedung konsistory tidak bisa dipakai lagi mulai hari itu karena akan direhab. Sebenarnya mereka akan memberitahu sejak minggu lalu tapi tidak ada orang yang datang persekutuan karena diliburkan dalam rangka Raker.
Baru jadi ketua langsung diperhadapkan pada masalah!
Sejenak terjadi kepanikan, kami belum menyiapkan tempat alternatif untuk persekutuan hari ini dan selanjutnya. Untuk hari itu, persekutuan tidak boleh dibatalkan karena anggota sudah pada berdatangan.
Akhirnya diambil keputusan untuk persekutuan hari itu dipindah ke Sekretariat/Rumah Persekutuan di Liliba yang baru selesai dibangun. Semua dievakuasi dengan menyewa sebuah angkot. Cukup satu angkot karena memang jumlah kehadiran saat itu hanya sekitar 15 orang.
Ada kekuatiran bahwa selanjutnya akan semakin sedikit aggota PMK yang hadir mengingat lokasi Sekretariat yang cukup jauh dari jangkauan kendaraan umum. Ada 2-3 buah ojek tapi tarifnya selangit menurut ukuran mahasiswa. BP harus ekstra berusaha karena tempat tinggal semuanya jauh dari sana. Tidak ada BP yang punya motor, anggota PMK hanya 1-2 yang sudah punya. Semua BP juga belum punya HP, hanya 2 orang yang ada telpon rumah. Sering bila ada keperluan maka harus pergi bertemu langsung. Transportasi sudah sulit, komunikasipun sulit.
TPPM, Staf dan BPR memutuskan bahwa PMK selanjutnya sudah harus permanen diadakan di Ruper, apapun tantangannya.
Khusus saya, ini jelas butuh perjuangan ekstra. Rumah saya jauh dari jalur transportasi, Sekretariatpun jauh; tapi harus melayani dengan sungguh-sungguh. Setiap akhir pekan harus PP melalui rute ini: berjalan kaki dari rumah ke depan STIM - numpang angkot ke Halte Bank Mandiri - lanjut numpang angkot ke Bundaran PU - berjalan kaki ke Sekretariat. Rute ini bisa diulangi 2-3x sepekan apabila ada KTB, rapat, latihan atau kegiatan lain. Waktu yang dibutuhkan untuk pergi minimal 1,5 jam, padahal jarak dari rumahku ke Sekretariat hanya butuh 10 menit bila menggunakan kendaraan pribadi.
Saking seringnya berjalan kaki lewat rute itu maka iseng kuhitung jumlah langkah kaki yang harus kutempuh. Hasilnya, jarak dari rumah ke depan STIM butuh 800 langkah dan dari Bundaran PU ke Sekretariat butuh 1.100 langkah, jumlah itu kuhitung berdasarkan jalan pintas yang kulalui.
Ini berarti, setiap ada kegiatan di Sekretariat saya harus melangkah sebanyak 800+1.100 = 1.900 langkah (PP=3.800 langkah). Bagi teman BP dan anggota PMK yang rumahnya dekat dengan jalur angkot-pun minimal harus 'membuang' 1.100 langkah PP dari Bundaran PU ke Ruper.
Namun pekerjaan Tuhan memang tidak seperti apa yang dikuatirkan. Dengan berpindahnya tempat persekutuan dari Gereja Kota Kupang ke Ruper Liliba, anggota PMK bukannya berkurang tetapi malah semakin bertambah. Hingga akhir masa kepengurusan, jumlah kehadiran rata-rata PMK Kota sudah diatas 40 orang, bandingkan dengan dulu masih di Gereja Kota Kupang yang lokasinya strategis, kehadiran hanya berkisar 15-20 orang.
Itulah cerita ringan awal Desember dan juga jarak yang harus kutempuh setiap minggu. Kini situasinya mungkin berbeda dengan banyaknya kepemilikan kendaraan pribadi maupun sarana transportasi umum yang lebih baik, komunikasi juga sudah amat mudah sehingga bisa menghemat waktu dan tenaga. Semoga semangat melayanipun semakin tinggi.
Ingin kembali berjalan menghitung jumlah langkah itu, sekedar bernostalgia diawal Desember.
No comments:
Post a Comment