Ismail, teman survivor TM dari Jakarta. |
Pertengahan tahun ini akan genap 6 tahun saya menjalani hidup sebagai survivor Mielitis Transversa (Transverse Myelitis, TM). Aneka pahit-getirnya bergulat dengan salah satu penyakit saraf ganas dan langka di dunia ini telah banyak saya goreskan di Kompasiana dan blog pribadi. Saya menuliskan semua pengalaman itu demi mengisi waktu yang telah dianugerahkan-Nya dengan cara berbagi kisah kepada sesama survivor (penyintas), kepada mereka-mereka yang belakangan baru didiagnosa mengidap TM ataupun kepada orang lain yang ingin lebih banyak tahu tentang pengalaman menderita inveksi pada sum-sum tulang belakang ini. Selain tentunya untuk meninggalkan jejak. Hehehe.
Pencarian di dunia maya yang kerap mengarahkan orang-orang di seluruh Indonesia datang untuk sekedar membaca blog saya (pitherpung.blogspot.com dan kompasiana.com/pitherpung) dan beberapa diantaranya lanjut menghubungi saya lewat medsos umumnya tidak jauh dari masalah: apa itu TM, penyebab, apa dan di mana pengobatan yang baik, kemungkinan pulih dan pengalaman orang yang sudah sembuh.
Secara pribadi, saya tidak punya pengetahuan cukup memadai tentang Transverse Myelitis, penyakit yang telah menggiring saya untuk berbesar hati menerima status baru sebagai seorang difabel paraplegia (lumpuh bagian bawah tubuh) pada usia 29 tahun. Hanya kenyataan bahwa saya harus melepaskan semua aktifitas normal akibat penyakit TM-lah yang memaksa saya untuk berusaha lebih memahami penyakit yang masih asing di telinga ini, terutama memahami apa yang dirasakan sendiri selama 6 tahun belakangan.
Kendati tingkat pemulihan saya hingga kini sangat jauh dari apa yang kita anggap sebagai "pribadi berfisik normal," saya tak ingin orang lain pun mengalami kenyataan hidup seperti saya. Kalau saya harus melewatkan waktu dengan berada di atas kursi roda, saya tetap ingin mendengar berita bahwa ada penderita-penderita TM di luar sana telah sembuh dan bisa beraktifitas normal kembali.
Seperti testimoni dari Ismail, survivor dari Jakarta awal bulan ini lewat grup TM Indonesia yang memberi tahu kalau dia mulai mencoba masuk kerja lagi setelah beberapa bulan absen bekerja karena terpaan TM. Ismail diserang penyakit golongan auto imun ini sejak pertengahan September 2015 dan mejalani perawatan di RSCM.
Grup TM tersebut adalah sebuah grup Facebook yang awalnya terbentuk dari orang-orang yang menghubungi saya karena membaca artikel-artikel saya di Kompasiana dan blog pribadi. Sementara ini sudah 80 orang dari seluruh Indonesia telah bergabung untuk saling membantu dengan berbagi informasi dan pengalaman seputar TM. Anggota grup bukan hanya penderita tapi juga keluarga, pemerhati hingga dokter-dokter ahli saraf.
Ungkapan Ismail di atas setidaknya memberikan gambaran bagi siapa saja yang mungkin saat ini sedang bergumul dengan TM dan penderita baru bahwa ada harapan untuk sembuh dari TM. Terlepas dari faktor pendukung lain yang tidak saya ketahui sebagai orang awam misalnya type serangan, ketepatan diagnosa, terapi, tingkat kerusakan saraf dan sebagainya.
Dalam hal pemulihan ini saya mengamini pendapat dari National Institute of Neurogical Disorder and Stroke (NINDS) yang mengatakan, "perbaikan dari TM biasanya dimulai antara 2-12 minggu dari onset gejala dan mungkin berlangsung sampai 2 tahun. Bagaimanapun bila tidak ada perbaikan dalam 3-6 bulan pertama, maka tidak dijumpai penyembuhan yang signifikan."
Dari berinteraksi dengan penderita TM dari seluruh Indonesia juga pengalaman diri sendiri terlihat kecenderungan bahwa memang benar besarnya pemulihan seseorang yang menderita TM terjadi pada minggu dan bulan-bulan awal. Penanganan yang cepat dan tepat dalam periode awal ini sangat menentukan pemulihan selanjutnya.
Di sisi lain ada yang mengganjal terkait penanganan di awal ini, penyakit TM diakui masih cukup sulit didiagnosa para dokter karena jarang sekali ditemukan dan tidak banyak yang memahami gejalanya. Biasanya TM baru dipikirkan setelah semua yang umum dan biasa ditemukan tidak tegak. Belum lagi dikaitkan dengan minimnya pengetahuan masyarakat umum sendiri membuat penanganan TM masih sering terlambat.
Apakah semua Rumah Sakit memiliki fasilitas kesehatan yang memadai dan bisa memberi pelayanan yang baik bagi penderita TM hingga pulih dan normal?
Sejauh bertukar cerita dengan teman-teman survivor selama ini, terlihat bahwa baru RS ternama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Medan yang telah menangani dengan cepat dan tepat serangan TM. Beberapa diantara mereka yang mengalami pemulihan signifikan menjalani pengobatan di negara-negara tetangga.
Sedangkan dari daerah-daerah dengan tingkat sarana medis lebih minim belum terdengar berita yang menggembirakan. Umumnya tingkat pemulihan pasien di sana masih berada di bawah mereka yang ditangani di kota-kota besar di atas.
Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan penderita yang ada di kota kecil maupun desa-desa dimana mereka tidak bisa menjangkau RS dengan fasilitas penting (seperti MRI) dan dokter spesialis saraf (mengingat penyakit ini ini bisa menyerang siapa saja dan di mana saja). Sudahkah dan seperti apakah pelayanan medis yang didapatkan? Ataukah mereka masih berada dalam anggapan bahwa TM bukanlah penyakit medis sehingga lebih baik "ditangani sendiri"? Mungkin anda bisa bantu menjawabnya.*
No comments:
Post a Comment